Unjuk rasa menolak hasil e-voting dianggap melanggar kode etik dan pencemaran nama baik
Rektor UIN Jakarta. Alhasil, aksi tersebut berimbas pada dilaporkannya para
pengunjuk rasa kepada Senat Universitas UIN Jakarta.
Maret 2019 silam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah usai melaksanakan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab telah menerapkan sistem e-vo-ting hasil dari kebijakan Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis.
Pemira
yang dilaksanakan pada Selasa (19/3) lalu, mulanya berjalan DEngan kondusif dan
tenang, tetapi seusai perhitungan suara situasi mulai berubah. Pada pukul 20.00
WIB, Ruang Aula Madya lantai 1 sebagai tempat perhitu- ngan total suara mulai
ramai dikerumuni sekelompok mahasiswa.
Situasi
kampus kian memanas kala sekelompok mahasiswa beralih menuju parkiran Student
Center untuk melakukan aksi, lantaran adanya indikasi kecurangan hasil
perhitungan e-voting. Aksi tersebut diwarnai kericuhan antar mahasiswa,
namun berhasil dibubarkan oleh petugas keamanan kampus.
Tak
hanya sampai disitu, massa kemudian bergerak ke depan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan (FITK) untuk melanjutkan aksinya,
tetapi kali ini dengan disertai atribut spanduk yang bertuliskan “Tolak
E-Voting” hingga pukul 24.00 WIB. Perihal aksi ini, Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan Masri Mansoer menemui para demonstran untuk membahas perihal
hasil e-voting. Massa pun membubarkan diri seusai mendapatkan izin
berdemo pada besok hari.
Keesokan
harinya Rabu (20/3) pukul 13.00 WIB, sekelompok mahasiswa melanjutkan unjuk
rasa dengan mendatangi gedung rektorat menolak hasil e-voting pemira. Melihat
massa yang kian berkumpul, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis
bertemu dengan para demonstran. Di hadapan mahasiswa, Amany menyampaikan
perihal masalah hasil e-voting. Menurut Amany, bila ada kekurangan dengan hasil
e-voting, maka akan menindaklanjuti akar sumber masalahnya.
Di
sisi lain, unjuk rasa mahasiswa tersebut membuat Amany geram sebab para
demonstran dinilai tidak santun dalam melaksanakan aksi unjuk rasa. Hal ini
kemudian berujung pada keluarnya surat pelaporan rektor kepada Senat
Universitas UIN Jakarta pada 22 Maret 2019 dengan Nomor B-627/R/HM 01
3/02/2019 perihal pencemaran nama baik.
Isi
surat tersebut berisikan pengaduan Amany terhadap aksi para mahasiswa yang
menolak hasil e-voting dengan disertai kata-kata kasar. Rektor kemudian
mengajukan permohonan kepada Senat Universitas untuk menindaklanjuti laporannya
ke Mahkamah Etik agar para pelaku dapat diproses sesuai dengan aturan yang
berlaku. Karena hal tersebut telah berimbas pada pencemaran nama baik dan melanggar kode etik
mahasiswa saat berdemonstrasi.
Amany
beranggapan, yang ia lakukan adalah upaya untuk menegakan kode etik mahasiswa
saat berada di lingkungan kampus. Sebagai bukti laporan, rektor melampirkan
gambar-gambar demonstrasi yang beredar. Tak hanya gambar, ia pun juga memiliki
bukti lain berupa video yang bisa dilihat di youtube. “Intinya untuk menegakan
kode etik,” tegasnya, Senin (8/4).
Berdasarkan
dari Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 469 Tahun 2016
Tentang Kode Etik Mahasiswa Pasal 5 tertulis mahasiswa dinilai melakukan
pelanggaran apabila mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan serta
mencemarkan nama baik seseorang atau lembaga. Jika mahasiswa melanggar, maka
akan dikenakan sanksi ringan, sedang, berat bahkan sanksi pidana.
Menanggapi
perihal surat laporan rektor, Reporter Institut kemudian menemui Ketua
Senat Universitas UIN Jakarta Abuddin Nata untuk menanyakan tindak lanjut surat
tersebut. Menurut Abuddin Senat Universitas telah menindaklanjuti laporan
rektor dengan mengadakan rapat senat di ruang sidang Senat Universitas
padaKamis (11/4) lalu. Alhasil dari putusan rapat, Senat Universitas telah
menyarankan agar rektor melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu.
Tak
hanya itu, Abuddin juga beranggapan jika kasus ini bukan ranahnya mereka dalam
bertugas. Karena tugas senat tidak mengurusi mahasiswa secara langsung. Senat
Universitas bertugas dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang sifatnya akademik.
Selain
itu, menyoal unjuk rasa yang disertai kata-kata kasar. Abuddin Nata bahkan
mempertanyakan siapa yang akan dikenakan sanksi nantinya karena yang melakukan
unjuk rasa dengan jumlah massa yang tidak sedikit. Dikhawatirkan akan ada hal
yang tidak diinginkan seperti salah tangkap. “Dalam jumlah massa yang ba-nyak,
akan sulit menemukan mahasiswa yang dicurigai,” tutur Abudin.
Abuddin
menambahkan jika mahasiswa yang berdemonstrasi itu secara psikologis memang
sedang emosi. Jadi, apa yang mahasiswa lakukan disebabkan karena tersulut oleh
amarah.
Menurut
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta 2019 terpilih Sultan Rivandi mengatakan harus ada cara lain dalam
menyelesaikan perkara ini. Tak melulu masalah diselesaikan dengan gugatan.
“Saya rasa perlu duduk bersama dan klarifikasi maksudnya seperti apa, karena
demo itu hal lazim,” ucapnya, Senin (8/4).
Senada
dengan Sultan, menurut Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Helmi
Huwaidah perlu adanya mediasi dan harus
didiskusikan kembali dalam mengambil jalan keluar. Menurutnya, seorang pemimpin
harus terbuka untuk menerima aspirasi mahasiswa.
RIZKI DEWI AYU & NURUL DWIANA
RIZKI DEWI AYU & NURUL DWIANA