Dua ratus orang jurnalis
yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Pers, dan Pers Mahasiswa (Persma) kembali
turun aksi dalam memperingati Hari Buruh Internasional 2019 di Monumen Nasional
(Monas), Rabu, 01 Mei. Mereka menuntut untuk menghentikan kekerasan terhadap
jurnalis, menghentikan kekerasan terhadap kebebasan pers dan antisipasi terhadap
turbulensi industri media.
Tidak hanya itu, Dengan mengenakan baju berwarna hitam, peserta aksi berjalan
dari Gedung Dewan Pers menuju titik kumpul di Monas. Peserta aksi membawa
beberapa atribut berupa kentongan, serta bendera kuning yang merupakan simbol matinya akal sehat kampus terhadap kebebasan berekspresi.
Jackson Simanjuntak, sebagai
juru bicara aksi mengatakan ia dan rekan-rekannya resah melihat kekerasan terhadap
kebebasan pers belakangan ini. Salah satunya adalah pemberedelan rektor terhadap
Persma di Universitas Sumatera Utara (USU). Menurutnya, kebebasan pers menjadi
perhatian banyak pihak dalam kasus perihal. “Pers kampus bukan perpanjangan tangan pihak rektorat,
karena mereka hadir untuk mengisi ruang-ruang literasi di kalangan mahasiswa,”
ucapnya dalam berorasi, Rabu,
(1/5).
Tak hanya itu, salah satu peserta aksi memperingati Hari Buruh Internasional, Moh. Yamin menyebutkan,
kasus yang dihadapi oleh Persma Suara USU mencederai
demokrasi. Kasus ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap
Undang-undang Pers tentang kebebasan untuk berekpresi. “Ada penyelewengan yang
dilakukan rektor dan bisa dikategorikan sebagai perbuatan anti demokrasi,”
ucapnya, Kamis, (2/5).
Senada dengan Yamin, Faisal
Bahrun, sekertaris Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika mengatakan bahwa
kasus yang dihadapi oleh Persma Suara USU harus terus digaungkan. Pasalnya, memperjuangkan
demokrasi yang berjalan di kampus, membutuhkan kebebasan berekspresi serta
tidak ada pengekangan dan campur tangan dari pihak manapun. “Ke depannya semoga
tidak terjadi lagi kejadian serupa,” ucapnya, Kamis, (2/5).
Lebih jauh, salah satu peserta aksi dari Forum Pers Mahasiswa
Jakarta (FPMJ), Fakhri
Muhammad menyebutkan alasan mengikuti aksi karena
ingin menyuarakan apa yang menghambat Persma dalam melakukan kerja jurnalistik.
“Intervensi birokrat kampus, regulasi yang kontraproduktif adalah ancaman
untuk kerja jurnalistik di Persma,” ujarnya, Rabu, (1/5).
Selain tuntutan terhadap
kebebasan berekspresi dalam kerja jurnalistik, Jackson juga menambahkan, supaya semua jurnalis terus meningkatkan kemampuan.
Tantangan turbulensi industri
media yang mempekerjakan satu orang untuk melakukan multitasking dalam
kerja jurnalistik harus diantisipasi. “Kita tidak perlu takut dengan efisiensi yang dilakukan
media selama kemampuan
yang kita miliki memadai, apalagi di era disrupsi teknologi 4.0,” ucapnya.
IA