Bidang Kemahasiswaan menjadi salah satu bahasan pada Rakerpim setiap
tahunnya. Pada 2019 ini, beberapa persoalan kembali muncul bergesekan langsung dengan
mahasiswa.
Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) 2019 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta telah digelar pada Jumat–Minggu (29–31/3) lalu di Bandung, Jawa Barat. Rakerpim
dihadiri oleh rektor, wakil rektor, dekan, kepala biro, dan segenap civitas
academica lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas rencana program kerja
UIN Jakarta satu tahun ke depan.
Beragam aspek menjadi fokus dalam Rakerpim yang dipimpin oleh Ketua Biro
Perencanaan dan Keuangan UIN Jakarta Khairunnas. Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin
Umar Lubis membuka Rakerpim dengan menyampaikan arah dan kebijakan program
kerjanya satu tahun ke depan, 2019–2020. Para wakil rektor yang menghadiri
Rakerpim dibagi menjadi empat komisi, termasuk Komisi Bidang Kemahasiswaan.
Pemangkasan Dana Delegasi
Topik pembahasan Rakerpim 2019 tidak terlepas dari tata kelola dana
delegasi mahasiswa yang kian mengalami pemangkasan. Dilansir dari Tabloid
Institut Edisi LVII/Oktober 2018, anggaran dana delegasi sebelumnya tercatat mencapai Rp
1 miliar pada 2017. Kemudian, mengalami penurunan hingga Rp 600 juta di tahun
berikutnya. Tidak sampai di situ, kini di 2019 dana delegasi mencapai titik yang
lebih rendah lagi yakni Rp 225 juta.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Masri Mansoer mengatakan,
kemerosotan dana delegasi diakibatkan oleh adanya pemangkasan dana Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) oleh Kementertian Agama (Kemenag). Kebijakan ini
berdampak kepada PTKI yang dapat dikatakan lebih berkembang, salah satunya UIN
Jakarta. Dalam hal ini, Kemenag mengalihkan dana tersebut kepada PTKI yang berada
pada masa pengembangan dan masih perlu dibina.
Penyusutan dana dari Kemenag bukanlah satu-satunya alasan. Keikutsertaan
UIN Jakarta dalam Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) IX se-PTKI
pun turut mempengaruhi pemangkasan dana delegasi. Menurut Masri, Pionir yang
dijadwalkan akan terlaksana pada Juli 2019 di Malang, Jawa Timur menguras
dana yang cukup banyak. “Sekitar setengah miliar,” ujarnya, Senin
(15/4).
Namun pada empat periode Pionir terakhir, sejatinya UIN Jakarta tidak
pernah menjadi juara umum dalam ajang unjuk bakat mahasiswa dua tahunan ini. Menelisik
Pionir VIII pada 2017, Futsal Putra yang diwakili oleh Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) harus tersisih di babak 16 besar. Menurut
Ketua Divisi Futsal Forsa Rizal Asy’ari, hal tersebut terjadi karena
jadwal pertandingan yang begitu padat. “Juga perbedaan ukuran lapangan,
berpengaruh pada teknis permainan,” ujarnya, Senin (15/4).
Sama halnya dengan bidang olahraga, kurangnya persiapan berujung pada
kekalahan di bidang seni. Perlombaan Tilawatil Quran, Syarhil Quran, dan
Kaligrafi yang didelegasikan oleh UKM Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa
(Hiqma) belum dapat membuahkan hasil karena latihan yang kurang matang. “Baru diumumkan
satu bulan sebelumnya, sedangkan
harus melakukan seleksi peserta,” ujar Ketua Hiqma Ahmad Rifai, Rabu
(13/4).
Padahal, Pionir bukanlah satu-satunya alternatif mahasiswa untuk
berprestasi di bidang nonakademik. Dengan semakin dipangkasnya anggaran
dana delegasi tahun ini, kesempatan untuk mendapat kucuran dana bagi mahasiswa yang
mengikuti kegiatan di luar Pionir pun semakin terkikis.
Seperti yang tercantum dalam Tabloid Institut Edisi LVII/Oktober 2018, dengan total dana delegasi sebesar Rp 600 juta, Mahasiswa Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Andi Febriansyah hanya mendapatkan Rp 4 juta dari keperluan
Rp 10 juta untuk konferensi tingkat nasional dan internasional.
Kejadian serupa
kembali terjadi pada Maret lalu. Mahasiswa Hubungan Internasional Ardelia
Bayu Merdekawati Setiardi tak mendapat banyak
kucuran dana dari kemahasiswaan untuk kegiatan Maltepe
University International Student Congress. Ia mengajukan permohonan dana sebesar Rp 18 juta untuk visa dan tiket
pesawat.
Nahas, Ardelia hanya mendapat persetujuan dana sebesar Rp 2 juta yang masih belum cair hingga
saat ini. Dukungan dari pihak kampus tidak ia rasakan. Menurutnya, hal tersebut
menjadi hambatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan soft skills mereka.
“Bagaimana mau meningkatkan status UIN Jakarta di kancah Internasional jika masalah
seperti ini tidak di-support,” ungkap Ardelia via Instagram,
Kamis (18/4).
Menanggapi hal itu, Amany mengaku akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung berjalannya
Pionir IX kali ini maupun kegiatan-kegiatan nonakademik mahasiswa lainnya. “Sudah
menjadi tanggung jawab saya untuk memberi dorongan dalam bentuk kebutuhan apa
pun,” ujar Amany saat ditemui di Gedung Rektorat Lantai 2, Senin (8/4).
Batas Semester Calon Ketua
Ormawa
Pengelolaan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) pun
menjadi aspek yang akan dirumuskan pada tahun ini. Dalam kesempatan wawancara dengan Institut
pada Rabu (13/3), Amany mengatakan, ia hanya akan memberikan
kesempatan kepada mahasiswa semester lima untuk dapat menjadi calon ketua
Ormawa. Himbauan ketetapan tersebut akan disosialisasikan kepada pengurus
Ormawa periode 2019 setelah seluruh rangkaian musyawarah mahasiswa usai.
Rencana ketetapan terkait tata kelola Ormawa ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya mahasiswa UIN Jakarta yang lulus ketika
menginjak semester sebelas. Menurutnya, molornya masa studi mahasiswa
disebabkan oleh masa kepemimpinan pada organisasi.
Karena itu, dengan diubahnya peraturan semester untuk calon ketua Ormawa, Amany
mengharapkan mahasiswa dapat menyelesaikan masa studinya dengan tepat waktu.
Meskipun begitu, ketetapan pembatasan semester
untuk calon ketua Ormawa yang dicanangkan Amany berbeda dengan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum
Organisasi Kemahasiswaan. Pada Poin I mengenai Syarat dan Tata Cara Pemilihan, tertulis bahwa mahasiswa semester lima dan tujuh berhak
untuk menjadi calon ketua Ormawa. Wacana ini pun menuai tanggapan dari Ketua
Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivandi.
Sultan mengaku sempat mendengar rencana kebijakan
pembatasan semester untuk calon ketua Ormawa. Menurutnya, kampus sebagai ruang
demokrasi mahasiswa seharusnya terbuka bagi kepemimpinan baik mahasiswa
semester lima maupun tujuh. Sebab, kepemimpinan merupakan pengalaman yang tidak
didapatkan mahasiswa di dalam kelas perkuliahan.
Maka dari itu, ia mewanti-wanti pihak kampus agar
dapat memberikan alasan dan rasionalisasi yang tepat atas kebijakan yang
dibuat. “Agar tidak menuai kontra dan ketidakadilan di kalangan mahasiswa terutama
semester tujuh,” ungkap Sultan, Senin (8/4).
MUHAMMAD SILVANSYAH SYAHDI MUHARRAM
MUHAMMAD SILVANSYAH SYAHDI MUHARRAM