*Oleh: Eduardus Only Putra
Tak dapat
dikibuli bahwa hampir setiap hari dalam hidupnya, manusia pasti akan selalu
mendengar dan juga membaca berbagai berita bohong atau hoax. Ralitas ini membawa manusia pada suatu situasi baru yaitu
situasi politik pasca-kebenaran (post-truth). Politik pasca-kebenaran adalah politik palsu berupa
budaya politik di mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi
dan perasaan masyarakat, terlepas dari fakta atau maksud politik yang
sebenarnya.
Politik
pasca-kebenaran didorong oleh siklus berita 24 jam yang harus diisi dengan
pokok-pokok berita yang menarik perhatian sebanyak mungkin pemirsa. Kini sumber
berita utama bukan lagi radio atau televisi, melainkan media sosial seperti
Facebook, Youtube, dan Twitter. Media-media inilah yang rentan diinstrumentalisasi
oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan berita bohong.
Dalam
konteks dunia saat ini, hoax yang
paling dominan memicu konflik adalah hoax
yang menyentil isu SARA. Orang dengan kebebasan yang dimiliki dalam menggunakan
media sosial dapat dengan leluasa menyebarkan berita bohong yang menyinggung
agama atau kepercayaan orang lain. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan friksi dan fragmentasi, sebab agama berkaitan
dengan iman dan keyakinan pribadi seseorang yang tidak bisa diganggugugat oleh
siapapun.
Orang
yang agamanya dihina tentu saja tidak dapat menerima hal itu sebab menghina
agama berarti menghina Tuhan yang diimani dalam agamanya. Dalam hal ini, yang
lebih dominan yang menciptakan konflik adalah kaum radikalisme agama. Mereka
dengan segaja menyebarkan berita bohong tentang agama lain agar apa yang
menjadi agama dan keyakinan mereka semakin diakui dan semakin banyak orang yang
mau mengikuti mereka.
Aksi
radikalisme pasti berujung pada terjadinya kekerasan dan terorisme. Aksi teror
yang dilakukan oleh kelompok radikalisme itu semakin merajalela dengan
pengguanaan teknologi-teknologi canggih yang merupakan produk sistem global.
Tentang hal ini, benarlah apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillard bahwa penyebab utama dari
masalah terorisme adalah hegemoni sistem global. Sistem global yang dimaksud
adalah sistem pasar, turisme, teknologi dan informasi global. Hegemoni sistem
global tersebut bekerja melalui tiga cara yaitu Pertama, hegemoni sistem global dapat mendatangkan reaksi negatif
dari pelbagai singularitas, dan terorisme adalah reaksi yang paling keras dan
buas.
Dalam
konteks ini, sistem global adalah sebab tidak langsung dari terorisme. Kedua, terorisme dapat disebarkan secara
eksponensial (berganda-ganda dalam kelipatannya) melalui sistem global misalnya
melalui teknologi dan arus informasinya. Ketakutan lebih kecil dalam wilayah
terbatas, digandakan oleh efek informasi global dan disebarkan ke seluruh
dunia.
Dalam
hal ini, hoax merupakan salah satu
jenis teror yang dapat menciptakan ketakutan bagi semua orang. Ketiga,
terorisme dapat diproduksi juga oleh sistem global sendiri, di mana teknologi
dan informasi itu sendiri yang memproduksi teror.
Maraknya aksi penyebaran hoax yang juga memicu konflik antara
kelompok radikalisme agama dan kelompok agama lainnya menyebabkan terjadinya
krisis toleransi dalam kehidupan masyarakat. Toleransi yang seharusnya menjadi
nilai utama dalam kehidupan bersama kini sirna ditelan oleh egoisme dan
arogansi segelintir orang yang ingin mempertahankan idealisme pribadi yang
dianggap paling baik dari yang lain.
Hal ini tentunya tidak
dapat dibiarkan terjadi terus-menerus. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi
krisis ini, maka salah satu hal yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi atau
menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi.
Toleransi
Toleransi
berasal dari kata Latin tolerare yang
berarti “membiarkan” atau “memikul sesuatu”. Sebagai sebuah keuletan yang
pasif, toleransi mengungkapkan kemampuan menahan penderitaan lantaran hal-hal
yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit, siksaan dan bencana. Dalam
perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang agama, toleransi tidak lagi
dilihat sebagai “memikul hal-hal yang tidak menyenangkan”, melainkan membiarkan
agama atau keyakinan-keyakinan asing bertumbuh.
Jadi
toleransi mengalami pergeseran makna dari sikap terhadap diri sendiri menjadi
sikap terhadap orang lain. Toleransi sebagai keutamaan moral individual pada
akhirnya berkembang menjadi sikap etis sosial atau moral publik.
Konsep
toleransi memiliki dua tingkatan kualitas yang dikenal dengan kualifikasi
toleransi pasif dan toleransi aktif atau otentik. Pertama, toleransi
pasif atau dikenal juga dengan konsep toleransi klasik tampak dalam sikap
terpaksa membiarkan yang lain hidup karena realitas sosial yang plural.
Toleransi pasif biasa juga disebut dengan “toleransi izinan” terpaksa (widerwillige Erlaubnis-Toleranz).
Di sini,
penguasa membolehkan kelompok minoritas hidup sesuai dengan keyakinannya yang
bertentangan dengan keyakinan mayoritas sejauh mereka tidak mempersoalkan
otoritas penguasa. Kedua, toleransi
aktif dan otentik. Toleransi jenis ini mengiakan hak hidup atau keberadaan,
kebebasan dan kehendak yang lain sebagai yang lain untuk berkembang. Atau dalam
rumusan yang lebih radikal dari Rosa Luxemburg: “kebebasan selalu berarti
kebebasan berpikir lain.” Toleransi
aktif dikenal dengan “toleransi respek” (Respekt
Toleranz).
Merawat Toleransi
Toleransi
merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin perdamaian dan kenyaman
dalam suatu ruang lingkup kehidupan yang dipenuhi pluralitas budaya, agama dan
keyakinan. Toleransi mengandung berbagai macam nilai yang dapat merajut
persatuan di tengah berbagai macam perbedaan yang ada dalam kehidupan bersama.
Nilai-nilai toleransi itu nyata dalam berbagai konsep dan pandangan tentang
toleransi itu sendiri.
Dalam agama
Kristen, pandangan tentang toleransi bukanlah hal baru. Dalam teks tentang
toleransi yang paling berpengaruh yang pernah ditulis, A Letter Concerning Toleration (1689), John Locke, leluhur dari
liberalisme politik, menyatakan dalam kalimat pertama bahwa toleransi adalah
“tanda khas yang utama dari Gereja yang sejati (Clark,
2014: 246-247).” John Locke menyampaikan dua gagasan utama tentang
toleransi dalam umat Kristen.
Pertama, toleransi dan kebebasan. Keyakinan yang pertama
berkaitan dengan kebebasan untuk beriman. Sifat dari iman adalah bahwa tidak
seorangpun dapat dipaksa untuk percaya. Memeluk (atau menolak) iman Kristen
merupakan upaya mengarahkan kembali seluruh komitmen fundamental dari hidup
seseorang.
Jika kita
dipaksa untuk percaya, kita akan percaya dengan tidak ikhlas dan dengan
demikian tidak menghormati Tuhan sekaligus bertentangan dengan kesadaran kita
sendiri. “Agama yang benar dan menyelamatkan”, tulis Locke, “berisi keyakinan
batin dari dalam, yang tanpa hal itu, tak sesuatupun dapat diterima oleh
Allah.” Maka iman semacam ini dapat bertumbuh hanya dalam kebebasan.
Kedua, toleransi dan kasih. Alasan kedua mengapa Locke
berpendapat bahwa toleransi merupakan tanda terpenting bagi Gereja yang sejati
adalah karena kasih merupakan pelaksanaan iman Kristen. Rasul Paulus menulis
pernyataan yang terkenal bahwa sekalipun aku memiliki pengetahuan mendalam
tentang ajaran agamaku, sekalipun aku telah mencapai prestasi moral yang
mengesankan, “jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1
Korintus 13:2).
Dengan
menirukan Rasul Paulus, Locke berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai
pernyataan yang benar tentang ajaran, tentang keunggulan moral, atau tentang
ketepatan liturgis, “namun jika kurang berbuat amal, kurang bersikap lemah
lembut, dan kurang berkehendak baik bagi semua orang, apalagi terhadap mereka
yang bukan Kristen, dia belum tentu menjadi seorang Kristen yang benar.
Intoleransi
tidak sesuai dengan kasih yang sejati, karena tidaklah masuk akal bahwa
penderitaan yang disebabkan oleh siksaan dan segala macam bentuk tindakan jahat
merupakan perwujudan sikap kasih – sikap yang mendukung kasih yang keras dari
Agustinus mengundang banyak perdebatan. Bagi Locke, intoleransi dengan demikian
tidak sejalan dengan iman yang otentik. Intoleran itu sangat membahayakan.
Dari
berbagai penjelasan yang cukup rinci tentang toleransi seperti yang ditelahkan
dijelaskan di atas, kita dapat melihat berbagai macam nilai toleransi. Beberapa
nilai penting yang termaktub dalam toleransi itu adalah kebebasan, adanya
penghargaan atau penghormatan, dan kasih. Nilai-nilai
toleransi ini tentunya bukan hanya berada dalam lingkup agama Kristen tetapi
juga dalam seluruh agama yang ada di dunia ini.
Kebebasan
sebagai salah satu nilai toleransi berarti setiap orang atau siapapun diberi
kebebasan untuk memeluk agama atau keyakinan sesuai dengan keinginan
masing-masing. Apalagi dalam konteks negara Indonesia yang menerapkan sistem
demokrasi, kebebasan niscaya menjadi satu syarat mutlak. Namun, kebebasan yang
dimaksudkan tentunya bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Bebas yang
dimaksudkan di sini adalah bebas yang bertanggung jawab dan tidak menggangu
kepentingan orang lain.
Pengakuan
juga menjadi salah satu nilai penting dalam toleransi. Toleransi selalu
menuntut adanya pengakuan. Setiap orang yang hidup dalam suatu komunitas plural
wajib untuk memberi pengakuan terhadap keyakinan atau agama yang dianut oleh
orang lain. Pengakuan menuntut setiap orang untuk menanggalkan egoisme dan
kesombongan diri. Pengakuan mewajibkan setiap orang untuk menerima apa yang
diyakini oleh orang lain. Dengan kata lain, pengakuan menuntut setiap orang
untuk mengakui adanya perbedaan. Dalam bahasa Ricoeur, pengakuan berarti
mengidentifikasi lewat proses pembedaan.
Selain
kebebasan dan pengakuan, kasih merupakan nilai yang tidak bisa dilepaskan dari
prinsip toleransi. Kasih merupakan fundamen utama bagi terciptanya kehidupan
bersama yang damai dan nyaman. Dalam konsep Trilogi ranah interaksi Alex
Honneth, kasih atau cinta merupakan salah satu aspek penting. Cinta
mengungkapkan relasi intim manusia dan membantu individu untuk mengembangkan
rasa percaya diri.
Untuk
konteks negara Indonesia, nilai-nilai toleransi itu sebetulnya sudah termaktub
jelas dalam Pancasila. Namun, nilai-nilai itu kini hilang dan mati ditelan oleh
buasnya aksi radikalisme. Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban untuk
merevitalisasi atau menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi yang terkandung
dalam Pancasila. Revitalisasi nilai-nilai itu adalah salah
satu cara untuk merawat toleransi.
Nilai-nilai
yang ada dalam Pancasila harus menjadi kekuatan utama untuk
menghadapi liberalisasi agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno telah
jauh-jauh hari mengingatkan bahwa ketuhanan jangan sampai terjangkiti
liberalisme agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno berpesan agar
bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah
bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas dan keterbukaan. Soekarno berkata, “marilah kita amalkan di jalan agama, baik Islam
maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama
lain.”
Tugas untuk
revitalisasi ini tentunya bukan hanya tugas negara, melainkan tugas dari semua
warga negara Indonesia. Sebagai salah satu bentuk dari revitalisasi nilai-nilai
toleransi itu, semua anggota masyarakat harus mampu menggunakan media sosial
secara bijak. Artinya, media-media sosial itu tidak boleh digunakan untuk
menyebarkan hoax, melainkan lebih
dari itu, media harus digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan tentang
pentingnya toleransi dalam kehidupan bersama. Dengan dan melalui media sosial
itu masyarakat juga dapat membangun dialog dengan berlandaskan semangat toleransi.
*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero, Maumere