“Mau kuliah di
ITB atau kuliah di Jerman?” Pertanyaan yang sangat menohok terucap dari bibir
seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. Anak yang menginginkan kuliah di ITB
dengan passion Seni Rupa harus
dihadapkan dengan pilihan yang sulit.
Jerman merupakan negara maju dan mempunyai sistem
pendidikan yang sangat modern. Siapa yang tak menginginkan kuliah di sana.
Sebut saja mantan Presiden ke-3 Indonesia juga lulusan negeri yang pernah
dikuasai Adolf Hitler itu. Namun bagi Gita Savitri Devi tawaran itu sulit
diterima, lantaran dirinya sudah lulus ujian masuk ITB yang sesuai passion. Di sisi lain tawaran sukar
ditolak karena sang Ibu yang memberikan.
Tawaran yang diberikan sang Ibu bukan tanpa alasan.
Sejak kecil Gita berkeinginan mengenyam studi di luar negeri. Tawaran menjadi
dilematis karena Gita sudah lulus masuk ITB. Dengan keyakinan bahwa restu orang
tua adalah ridho Allah, akhirnya Gita menerima tawaran ibunya untuk kuliah di
Negeri der Panzer dan mengambil Jurusan Kimia.
Ternyata tawaran itu membuat Gita berada dalam
kesulitan. Dirinya harus menunggu satu tahun agar bisa kuliah di Jerman
lantaran belum cukup umur yakni 17 tahun. Setelah menunggu satu tahun, Gita tak
juga tak bisa langsung mendaftar kuliah. Dirinya harus terlebih dulu mengikuti
proses pra studi selama satu tahun, juga harus memiliki sertifikat Bahasa
Jerman level B2 agar bisa mendaftar kuliah.
Setelah mengikuti itu semua, Gita harus terlebih dulu
mengikuti program penyetaraan Studienkolleg yakni mengulang pelajaran-pelajaran
SMA selama 4 semester. Jika dalam 4 semester tidak lulus, maka risiko Drop-Out
dan deportasi harus diterima.
Tak ingin mengecewakan sang Ibu, Gita berusaha keras
agar bisa lulus tes masuk ujian kesetaraan untuk ke jenjang Starta 1. Setiap
hari Gita menghafal kosakata bahasa Jerman dari berbagai buku, koran maupun
tulisan-tulisan bahkan di dalam
perjalanan. Matanya tak lepas dari kertas-kertas kecil yang berisikan
kosakata baru.
Selain harus beradptasi dengan iklim Eropa yang
dingin, Gita harus beradaptasi juga dengan sistem studi di Jerman yang lebih
mandiri. Tidak ada kisi-kisi sebelum ujian, harus hafal semua materi serta
mempelajari rumus-rumus. Ujungnya saya tetap gagal dan berakhir dengan tangisan.
(Hal. 64)
Sadar waktunya terbatas, Gita mencari cara agar lebih
mudah beradaptasi. Meminta teman untuk mengajari materi salah satunya, via
telepon atau di kantin usai makan siang hal itu dilakukan. Sampai seringkali
Gita mual dan muntah setelah melihat soal-soal latihan.
Perjuangan itu semua terbayar lunas tatakala ia
mendapatkan nilai bagus dan diterima kuliah di Universitas Freie Universitat
Berlin di Jerman. Proses tak akan menghianati hasil. Begitulah simpulan buku
cerita hidup Rentang Kisah karya Vlogger Gita Savitri Devi.
NURUL DWIANA
NURUL DWIANA