Keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan bagi
Taufiq Effendi. Peraih beasiswa di delapan negara ini menjadi bukti bahwa kekurangan
yang ada tidak menjadi penghalang untuk berprestasi.
Diskriminasi
sosial seringkali dihadapi oleh para penyandang disabilitas, salah satunya
tunanetra. Karena keterbatasan penglihatan, seringkali masyarakat meremehkan
kemampuan para penyandang tunanetra. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah
penghalang untuk bisa berprestasi. Dengan tekad dan sikap pantang menyerah, keterbatasan
fisik yang ada mampu ditepis.
Salah
satunya oleh Taufiq Effendi, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah tanggung-tanggung dalam menuntut
pendidikan. Di balik keterbatasan fisik pada matanya, ia berhasil mengenyam
pendidikan di berbagai negara melalui jalur beasiswa. Terbukti, delapan program
beasiswa berhasil diraihnya dalam kurun waktu 2006-2015.
Kekurangan yang dialami Effendi bukanlah bawaan
sejak lahir. Kecelakaan yang pernah dideritanya pada usia enam tahun, secara
perlahan menyebabkan kebutaan total saat menginjak umur 15 tahun. Berbagai
operasi serta pengobatan yang telah ditempuh pun tidak ada satupun yang
membuahkan hasil.
Tidak merasa terpuruk,
Effendi justru semakin memiliki semangat hidup yang tinggi dan berusaha keras
untuk meraih impian. Dalam urusan pendidikan, Effendi kian gigih dalam menuntut
mencari beasiswa. Keinginannya untuk dapat berkeliling dunia memupuknya untuk
terus berusaha keras mendapatkan beasiswa di luar negeri.
Dalam belajar, Effendi
menggunakan rekaman suara dari hasil bacaan buku temannya, sedangkan braille
dipelajarinya sejak Sekolah Menengah Atas. Ketika duduk di bangku kuliah, ia
belajar menggunakan rekaman suara dosen yang selalu ia putar saat belajar. Metode
lain, dengan menggunakan aplikasi untuk program membaca. Effendi memindai buku
bacaan yang kemudian disimpan dan dibaca
menggunakan aplikasi program pembaca.
Tepat pada 2006, kerja keras Effendi
akhirnya membuahkan hasil. Beasiswa senilai 20 juta dalam program 4th Asia TEFL
International Conference berhasil mengantarkannya ke Jepang. Makalah yang
dibuat Effendi berhasil menyisihkan 449 pemakalah profesional dengan jenjang
pendidikan yang berbeda dengan Effendi yang satu-satunya mengenyam pendidikan
tingkat strata satu.
Tidak berhenti sampai di situ, tahun-tahun
berikutnya Effendi kembali menorehkan catatan baru untuk perjalanan
beasiswanya. Salah satu di antaranya ialah Korean Exchange Bank yang mendanai
penelitian skripsi Effendi pada 2007. Diakhir masa studi strata satunya,
Effendi lulus dengan menyandang predikat Cum Laude serta
menjadi wisudawan terbaik dengan kriteria akademik dan non akademik.
Tak merasa puas, pada 2009 dengan beasiswa Information
and Communication Technology Training dari Japan Braille Library,
Effendi mengikuti pelatihan di Malaysia. Sebelumnya, pada 2008 Ia melanjutkan
studi magisternya di Inggris tepatnya Aga Khan University. Beberapa beasiswa
dari pemerintah Amerika Serikat yakni Teacher Training
and workshop di INTO Oregon State University,
Corvallis dan Pengajaran Bahasa Inggris di University of Oregon, Eugene.
Perjalanannya menempuh beasiswa di
berbagai negara, menghantarkannya menjadi dosen di UIN Jakarta. Dalam mengajar,
Effendi
menerapkan metode critical pedagogy dalam kegiatan belajar mengajar di
kampus. Sebuah metode pendidikan yang menerapkan konsep dari teori kritis dan
tradisi yang terkait dengan bidang pendidikan dan studi budaya. Dengan begitu,
pengajaran Effendi di kelas menjadi interaktif dan menuai respon positif dari
kalangan mahasiswanya.
Taufiq
berpesan kepada semua mahasiswa, bahwa jangan pernah takut untuk bermimpi. Dirinya
berpesan untuk terus berjuang dalam meraih mimpi dan masa depan, “Kita di masa
depan tergantung dari mimpi dan perjuangan kita saat ini yang membedakan adalah
kerja keras,” ujar Effendi, Kamis (4/4).
IKA TITI HIDAYATI