Wacana perubahan sistem pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) dari sistem Pemira menjadi sistem perwakilan kontradiktif. Sistem perwakilan yang diatur dalam SK Dirjen No.4961 tahun 2016 dianggap menciderai demokrasi.
Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta setiap tahun sudah melakukan
sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tersebut, menggerakan seluruh
mahasiswa dalam memilih ketua Dewan Eksekutif
Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA). Namun sebaliknya, dangan adanya
pemira ini akan memicu kepada konflik, menyebabkan kerusuhan, dan merusak
fasilitas. Sehingga, UIN Jakarta pun
telah memutuskan untuk mengikuti Surat Keputusan (SK) Direktur Jendral
Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 4961 Tahun 2016 tentang
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI). SK tersebut memuat aturan baru sistem pemilihan Dewan Eksekutif
Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA).
Dalam SK Dirjen
Pendis bertuliskan bahwa sistem pemilihan organisasi mahasiswa yaitu DEMA dan
SEMA di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menggunakan sistem perwakilan.
tak lain, melibatkan perwakilan dari Jurusan/Program studi “Untuk Ketua DEMA”
dan anggota SEMA “Untuk Ketua SEMA”.
Sistem
Perwakilan dianggap telah menciderai demokrasi kampus karena tidak melibatkan
mahasiswa didalamnya. Lalu apa sebenarnya sistem perwakilan itu? Bagaimana
prosedur sistem perwakilan? berikut ini hasil wawancara reporter Institut Rizki
Dewi Ayu dengan Bagian Kemahasiswaan Pendidikan Islam di Kementerian Agama
Ruchman Basori, pada Senin (11/3).
1. Apa sebab
UIN Jakarta berwacana menerapkan sistem perwakilan ?
Berdasarkan hasil
data sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo Semarang, Pemira tersebut tidak bisa menggerakan mahasiswa dalam
meningkatkan keterwakilannya. Karena,
jumlah pemilih hanya di bawah 50 persen sampai 10 persen total mahasiswa. Sama halnya dengan UIN Jakarta, jumlah
pemilih dalam Pemira kurang dari 5 ribu mahasiswa dari total 29.604 orang.
Selain itu, dibeberapa
tempat sering terjadi kericuhan saat Pemira berlangsung, sampai merusak fasilitas, konflik fisik bahkan mosi
saling tidak percaya. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) pun terjebak dalam rutinitas
kericuhan penyelenggaraan, sehingga menimbulkan sebuah persaingan yang
kontradiksi.
Oleh sebab itu,
mahasiswa seharusnya menjadi sosok intelektual dan penggerak masyarakat di
bidang sosial. Sehingga, pihak Kementerian Agama (Kemenag) bisa antusias
mengembalikan sebuah peran mahasiswa sebagai civitas academica dan bukan
mahasiswa yang berorientasi politik.
2. Lalu, apa
kekurangan dan kelebihan sistem perwakilan?
Dengan sistem
perwakilan yang dimuat dalam SK Dirjen No.4961 tahun 2016, konflik bisa
dikurangi dari sebuah kelompok massa. Atas realitas itu, maka sistem perwakilan
menjadi kebutuhan yang utama.
Sistem
perwakilan sudah memenuhi tuntutan demokrasi pancasila seperti yang tertulis di
sila ke-empat pancasila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Walaupun, masih banyak mahasiswa yang belum
mau menggunakan sistem perwakilan dikarenakan mencederai demokrasi.
3. Bagaimana
sistem perwakilan yang telah berjalan di PTKIN?
Sejauh ini
relatif lancar, sudah ada 36 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)
yang telah menggunakan sistem perwakilan. Walau begitu, masih ada juga yang sistemnya
berubah kembali menjadi sistem Pemira, seperti halnya Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Samarinda.
Meskipun ada
yang berubah dalam sistem ini, maka kampus IAIN Samarinda akan tetap
berkomitmen dalam pemilihan Dema dan Sema. Akan tetapi, IAIN akan mendapatkan
konsekuensi dari Kemenag. Sehingga IAIN tidak akan mendapatkan bantuan dari
lembaga kemahasiswaan. Hal ini pun adalah bentuk sanksi dari Kemenag.
4. Harapan penerapan
sistem perwakilan?
Hasil konsensus
antar kampus, maka harus diikuti regulasinya. apabila ada kekurangan mengenai
sistem perwakilan, silakan sampaikan ke
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan atau ke Kemenag. Nantinya akan didengarkan
dan dievaluasi.
Selain itu, untuk
mahasiswa harus menjadi aktivis yang memikirkan persoalan bangsa yang substansial.
Tidak perlu memikirkan hal yang kurang efektif dalam konteks pergerakan mahasiswa,
“Cara bagaimana sistem Pemira itu tidak penting”. Yang terpenting adalah tujuannya.
Dengan adanya
sistem perwakilan, diharapkan agar mahasiswa lebih professional, cerdas
intelektual, dan mempunyai kepekaan nurani. Sehingga nanti akan mnjadi tokoh
penting dalam masyarakat.
Rizki Dewi Ayu