Sebagai sistem demokrasi mahasiswa,
UIN Jakarta menerapkan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Namun pada 2016 silam,
Dirjen Pendis telah merilis SK No.4961 tentang sistem perwakilan.
Pada
2016 silam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) mengeluarkan
SK nomor 4961 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam yang berlaku untuk semua Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. SK tersebut berisi tentang pemilihan dengan
sistem perwakilan, tanpa melibatkan seluruh mahasiswa.
Jika
dulu para calon dipilih langsung oleh semua mahasiswa, namun dalam sistem
perwakilan ini, pemilihan ketua SEMA dipilih dari dan oleh anggota SEMA
berdasarkan musyawarah mufakat dan pengurus SEMA ditetapkan oleh
Rektor/Ketua/Dekan. Sedangkan untuk pemilihan DEMA dipilih dari setiap
perwakilan masing-masing jurusan HMJ dan Prodi HM-PS.
Salah
satu contoh kampus yang sudah menerapkan sistem perwakilan ialah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa, Aceh. Mereka sudah menerapkan
sistem perwakilan sejak dua tahun lalu, akan tetapi banyak yang tidak setuju
dengan diterapkannya sistem perwakilan, seperti yang diungkapkan salah satu
mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fitri Yana, “Sistem
perwakilan tidak efisien, karena hanya ketua HMJ saja yang memiliki hak suara,
mahasiswa yang lain tidak memiliki hak suara,” ujarnya via telepon, Sabtu
(9/3).
Di UIN
sendiri, dalam pemilihan Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa
(DEMA) masih menggunakan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Hal ini tentu saja
bersinggungan dengan SK yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendis nomor 4961 tersebut.
Mengenai
hal ini, Ketua DEMA UIN Jakarta Ahmad Nabil Bintang memberikan pernyataan
terkait kampus yang belum menggunakan sistem perwakilan, “Masih banyak
mahasiswa yang menolak untuk melaksanakan sistem perwakilan,” tuturnya, Selasa
(5/3). Nabil menegaskan bahwa adanya perwakilan itu merupakan sebuah kemunduran
sistem demokrasi di kampus dalam berorganisasi.
Sama
halnya dengan Nabil, Ahmad Murhadi selaku Ketua SEMA UIN Jakarta memberikan
pernyataan yang sama bahwa Ia lebih setuju dengan sistem Pemira dibandingkan
sistem perwakilan. “Saya pribadi lebih setuju sistem PEMIRA, karena PEMIRA
merupakan pembelajaran politik bagi mahasiswa yang menjadikan UIN ini sebagai
miniatur negara,” ungkapnya, Rabu (9/3).
Sementara
itu Kasi Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Ruchman Basori
menjelaskan latar belakang dikeluarkannya SK terkait sistem perwakilan dengan
beberapa alasan, pertama tentang status mahasiswa yang lebih kental nuansa
politiknnya dibandingkan sosok intelektualnya. Kedua, teknis yang tidak
menjamin bisa melibatkan semua mahasiswa dalam Pemira.
Tak
hanya itu saja, alasan lain dengan adanya sistem seperti ini diharapkan lebih
profesional, lebih melayani, menjadi aspirasi bagi mahasiswa, dan waktu mereka tidak
dihabiskan oleh hal yang menyebabkan konflik. “Kenapa harus berubah? Supaya
konsen mahasiswa tidak menjadi orientasi politik, tapi menjadi masyarakat
intelektual dan masyarakat penggerak sosial,” ujarnya, Senin (11/3).
Berbeda
hal dengan Warek 3 bidang kemahasiswaan, Masri Mansoer memberikan pernyataannya
bahwa demokrasi yang sebenarnya adalah sistem perwakilan, “Dalam Pancasila sila
ke-4 sudah mencerminkan demokrasi dengan sistem perwakilan,” tuturnya, Jumat
(8/3). Masri mengatakan dengan adanya sistem perwakilan bisa mengurangi
perkumpulan mahasiswa yang menyebabkan sebuah konflik antar mahasiswa.
Ruchman
menambahkan, adanya perubahan sistem ini adalah soal komitmen, Pendis sendiri
tidak memberikan sanksi yang spesifik bagi PTKIN yang tak menerapkan sistem
perwakilan tersebut. Namun Ruchman menegaskan bahwa PTKIN yang menerapkan
sistem tersebut akan mendapat nilai tambah, “Bagi yang tidak patuh jangan harap
mendapatkan perlakuan sama dengan PTKIN yang patuh,” tutupnya.
Herlin Agustini