Maraknya
kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi perbincangan hangat di
masyarakat. Kasus tersebut menjadi
prahara yang harus ditangani dengan serius. Menurut Badan Pusat Statistik,
tercatat satu dari tiga perempuan pada usia 15-64 tahun pernah mengalami
kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama hidupnya.
Seperti
halnya kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
baru-baru ini terungkap. Kasus pelecehan dilakukan mahasiswa teknik UGM berinisial HS
terhadap rekannya saat melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Seram,
Provinsi Maluku, pada 2017 lalu.
Tak hanya itu, kasus serupa juga
terjadi di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pasalnya ada dua mahasiswa baru (Maba) mengaku
menerima pelecehan seksual. Pelecehan ini terjadi pada hari pertama Pengenalan
Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) tahun 2017 lalu, mirisnya lagi pelecehan
dilakukan oleh panitia penyelenggara.
Bahkan
di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pelecehan seksual dilakukan oknum dosen
kepada mahasiswinya. Seorang dosen yang seharusnya memberikan contoh yang baik
kepada mahasiswanya, malah melakuka hal yang memalukan. Pelecehan seksual
tersebut dilakukan dosen dengan bermoduskan akademik.
Namun
dari beberapa kasus yang terjadi, tak banyak kampus terbuka untuk menindak
lanjuti perihal kekerasan seksual dengan alasan nama baik instansi. Hal ini
menjadikan proses penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus
terhambat dan tidak berjalan lancar. Tidak hanya itu, bahkan kasus tersebut
seakan-akan hilang dibawa angin tanpa ada kelanjutan proses penanganan yang
jelas.
Belum
lagi dampak psikologis yang diterima oleh seseorang yang mengalami pelecehan
seksual. Seseorang yang menjadi korban pelecehan seksual mengalami stres berat,
mereka mungkin akan sulit berbicara atau
menceritakan langsung mengenai tragedi yang menimpanya. Bahkan rasa takut
seseorang yang mengalami pelecehan seksual berakibat pada trauma berat terhadap
kehidupan korban.
Ditinjau
dari kasus pelecehan seksual, ada modus di mana pelaku menjalin hubungan yang
baik dengan korban, setelah terjalin kedekatan pelaku menawarkan bantuan, atau
iming-iming tertentu. Ketika kedekatan emosional itu, mengakibatkan sang korban
tidak kuasa menolak permintaan pelaku. Akibat kedekatan emosional yang terjalin
antara keduanya, korban akan merasa segan menolak, karena takut mengecewakan
atau merasa berhutang kepada orang yang sudah baik kepadanya.
Setelah
sang korban merasa tidak berdaya, pelaku akan melakukan kehendaknya. Begitu
juga kekuasaan yang sering disalahgunakan dalam aksi pelecehan seksual. Seperti
halnya kasus pelecehan seksual di UIN Bandung , sang dosen merasa mempunyai
kekuasaan lebih tinggi dari korban yang hanya mahasiswi. Hal seperti itulah pemicu
terjadinya kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Tak banyak korban yang mau angkat
bicara atau melaporkan kekerasan seksual yang dialami, terlebih dalam konteks
kampus. Ada banyak hambatan yang membuat mereka merasa takut untuk melapor . Seperti halnya takut tidak
ada perlindungan bagi pelapor atau sang korban takut aibnya diketahui oleh
orang lain.
Pelecehan
seksual merupakan kejahatan bentuk tindak pidana yang harus diselesaikan dengan
hukum berlaku. Pelaku pelecehan seksual dapat dijerat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) pasal 289 sampai dengan pasal 296 selama-lamanya Sembilan tahun penjara.
Seharusnya
pihak kampus mampu menangani kasus pelecehan seksual sesuai hukum. Bukan
sebaliknya, malah menutup-nutupi atau bahkan bertingkah seolah-olah tidak
terjadi apa-apa dengan alasan nama baik instansi. Karena kasus tersebut
menyangkut hidup seseorang, jadi harus ditindak lanjuti sesuai Undang-Undang
yang berlaku.
SA