GAZA - Warga Gaza
menuntut haknya untuk merdeka. Tuntutan itu kembali disuarakan masif dalam
beberapa pekan terakhir, meski harus ditebus dengan luka dan syahidnya
anak-anak muda Palestina. Seperti aksi terkini Great Return March, Jumat (2/11)
lalu. Hampir 7.000 warga Palestina terlibat dalam demonstrasi besar Jumat
(2/11) itu. Sebagian besarnya berkumpul di dekat area tenda yang terletak lebih
dari 2.000 kaki dari pagar perbatasan.
Namun
sekali lagi, aksi di sepanjang pagar perbatasan itu berujung pada darah dan
duka. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 87 orang terluka akibat penggunaan
peluru tajam dari serdadu Israel. Peluru yang digunakan pun diduga kembali
menggunakan peluru yang bakal meledak ketika sudah tertancap di targetnya
(explosive bullets). Sebuah peluru yang menjadi bagian dari kejahatan perang,
menyebabkan beberapa pemuda Gaza mengalami cedera serius.
Turut
menyaksikan perjuangan warga Gaza merebut kembali tanah airnya, Aksi Cepat
Tanggap (ACT) telah mendirikan Dapur
Umum Indonesia di Gaza. Dapur Umum beroperasi sejak akhir Oktober lalu, mulai
Senin (29/11). Sampai laporan ini diunggah, Dapur Umum ACT telah
mendistribusikan puluhan ribu paket makanan siap santap untuk para pejuang
kemerdekaan Palestina.
Pendistribusian
dilakukan di beberapa daerah mencakup perbatasan kota Gaza dengan Gaza Utara,
seperti Al Salateen, Mashrou Amer, dan Al Sawarka yang termasuk daerah
termiskin di Gaza. Sarana umum seperti sekolah dan rumah sakit juga tak luput
menjadi tujuan implementasinya.
Tak
hanya di bagian utara Gaza, distribusi paket makanan dari Dapur Umum ACT di
Gaza meluas hingga wilayah selatan. Selama beberapa hari berturut-turut, sejak
Sabtu (3/11) sampai Selasa (6/11) menyasar ke wilayah Khan Younis, Rafah, Al
Shouka, sampai As Soltan. Seluruhnya berada di sepanjang perbatasan Gaza dengan
Israel.
Andi
Noor Faradiba dari Global Humanity Response (GHR) - ACT melaporkan, Senin
(5/11) kemarin timnya mendistribusikan hasil olahan Dapur Umum Indonesia untuk
para warga Gaza. Distribusi paket pangan difokuskan untuk mereka yang sedang
ikut dalam barisan depan aksi Great Return March. Sekitar seribu santapan
dengan bermacam menu disiapkan, berupa roti lapis, nasi kentang, air mineral
dan jus buah kemasan hadir untuk para pejuang kemerdekaan Palestina.
“Alhamdulillah,
Dapur Umum - ACT sudah hadir kembali di Gaza sejak akhir Oktober lalu. Makanan
siap santap menemani para pejuang Great Return March. ACT berharap bisa
membersamai mereka hingga lama, tidak hanya satu minggu ini saja, mungkin satu
bulan ke depan, insya Allah,” tutur Faradiba.
Selama
hak untuk merdeka belum didapat, emosi bakal belum berakhir di tapal batas Gaza
dan Israel. Beberapa waktu lalu di pekan pertama Oktober, tiga anak palestina
dikabarkan menjadi korban serangan Zionis.
Mereka
kembali kehilangan nyawa anak-anak yang tak bersalah. Khaled Abu Said (13),
Abdulhamid Abu Daher (13), dan Mohammed Assatri (14) meninggal dunia hanya
karena disangka ingin mendekati pagar perbatasan padahal mereka tengah bermain
layang-layang.
Gaza
pun kembali berduka walau duka tak pernah menghilangkan sedikitpun asa untuk
melawan.
“Great
Return March tidak akan berhenti sampai mereka memenuhi keinginan kami. Pertama
dan paling utama adalah pencabutan blokade sepenuhnya dari jalur Gaza dan
mengakhiri penderitaan dua juta orang Palestina yang terkepung,” kata seorang
warga Gaza yang dilansir oleh middleeastmonitor.com pada Senin (5/11).
Perjuangan
yang terus berlanjut
Hari
demi hari tak kunjung membaik bagi warga Palestina yang hidup di sepanjang
petak perbatasan Gaza. Sejak Zionis memblokade tanah kelahiran mereka, warga
Palestina telah mengalami banyak kehilangan. Jiwa, harta, benda, bahkan
beberapa menganggap harga dirinya telah terenggut oleh mereka yang berkuasa.
Merdeka, tak pernah sama sekali dirasa oleh mereka, warga Palestina di tanah
Gaza.
Menurut
laporan tahunan PBB pada September 2018, tingkat pengangguran Palestina
mencapai 27,4%. Angka ini terus melonjak terutama sejak blokade total atas Gaza
dimulai tahun 2007 silam. Hari ini, angka itu merupakan angka tertinggi di
dunia. Sementara produk pertanian mengalami penurunan tajam hingga 11%. PBB
juga menyatakan, apabila blokade belum juga usai, maka tingkat pengangguran
akan terus bertambah. Serupa penjara raksasa, di atas tanah sendiri tapi
dikurung, warga Gaza makin tak berdaya.
Tak
ingin situasinya semakin memburuk, sudah sejak tengah tahun 2018 lalu, warga
Palestina di Gaza dan sekitarnya turun ke jalan, berupaya membela diri dengan
menuntut haknya menjadi manusia merdeka. Aksi itu mereka lakukan dengan tajuk
Great Return March. Aksi sudah dimulai sejak Jumat, 30 Maret lalu, tuntutan
utamanya adalah pengembalian tanah Palestina yang direnggut sejak 1949 silam.
Melansir
Al Jazeera, sudah sejak 30 Maret lalu, Great Return March telah merenggut nyawa
210 warga Palestina, dan melukai lebih dari 18.000 jiwa, mayoritas merupakan
warga Gaza.[]