Syuhelmaidi
Syukur*
Hari Hak Asasi Manusia
Sedunia, 10 Desember 2018, menjadi penantian bangsa-bangsa berkemanusiaan, yang
berharap salah satu etnik paling nestapa di dunia, tak lagi dianiaya di
negerinya. Mengapa dinanti? Apa yang dinanti?
Karena hari itu, PBB
bersidang. Bukan sidang biasa, tapi mengadili enam jenderal aktif Myanmar atas
tuduhan pelanggaran "HAM Berat" di negaranya. Pelanggaran itu tidak
tanggung-tanggung: genosida (genocide), kejahatan kemanusiaan (crimes against
humanity), dan kejahatan perang (war crimes).
Masyarakat beradab dunia
layak menyandangkan harapannya pada sidang ini. Bagi pejuang HAM, seorang
kepala negara tak cukup sekadar menggerakkan kegiatan kemanusiaan. Gerakan
kemanusiaan biasa menjadi domain masyarakat biasa yang tidak menyandang mandat
apapun. Tidak demikian dengan seorang kepala negara dengan penduduk 200 juta
orang, memimpin negara besar yang sarat dengan catatan emas kemanusiaan dan
menaati konstitusi yang pasal demi pasalnya ditaati tanpa kecuali. Termasuk
preambulenya, “... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan.” Pada bagian lain juga
eksplisit menyatakan, kita negara yang ikut aktif menjaga ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Di tengah acara Public
Expose tentang Rohingya pada 14 November lalu, yang dihadiri mantan hakim agung
Republik Indonesia Marzuki Darusman, dalam kapasitas mewakili Tim Pencari Fakta
PBB untuk krisis kemanusiaan,semua menaruh harapan bahwa Indonesia akan
konsisten menjaga reputasinya sebagai pembela HAM dan pejuang nasib orang-orang
tertindas. Semua berharap, meski perjuangan ini nampak mustahil di tengah
komunitas ASEAN, di tengah bangsa-bangsa beradab, untuk bergandeng tangan
dengan rezim berdarah yang dengan sangat meyakinkan menjadi pelaku
"mahkota" kejahatan besar Hak Asasi Manusia: genosida, kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang.
Masa depan Indonesia,
nama harum Indonesia, akan bergantung pada sikap kepala negaranya. Indonesia
akan mendengar saksama, ke mana negeri berpenduduk muslim terbesar, panutan
negara-negara di kawasan ASEAN ini akan bersikap. Dunia menanti apakah kita
membela masyarakat Rohingya yang puluhan tahun dipersekusi tanpa pembelaan,
kehilangan hak sebagai warga negara dan ditolak di mana-mana, atau sejalan
dengan Myanmar yang 10 Desember nanti akan memvonis enam jenderal yang harus
bertanggung jawab di Pengadilan HAM internasional.
Era 1970an, Presiden
Terlama Indonesia mengharumkan nama bangsa, dengan memberi naungan puluhan ribu
pengungsi Vietnam untuk tinggal di Pulau Galang. Mereka tinggal di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau tersebut dalam waktu yang lama sampai 13 tahun, sampai
mereka mendapatkan tempat di negara ketiga dan sebagian mereka bisa kembali ke
negaranya dalam kondisi aman.
Apa yang dilakukan
Pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Myanmar? Mengindahkan temuan Tim
Pencari Fakta PBB atau tidak? Keyakinan muslim mana pun, menyelamatkan satu
jiwa, seperti menyelamatkan seluruh jiwa (begitu pula sebaliknya). Kesempatan
bersikap di tangan Kepala Negara RI. Nyawa ribuan jiwa Rohingya dan jutaan
pengungsi Rohingya di seluruh dunia, tergantung sikap satu orang. Kita berharap
yang terbaik.[]
*Presiden Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR)