Zaman
semakin modern dengan segala kecanggihan teknologi. Di samping itu Suku Baduy
tetap teguh menjaga kebudayaan dan kelestarian alam.
Indonesia dikenal
sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya. Dibalik itu, negeri khatulistiwa ini juga dihuni oleh berbagai macam
suku yang tinggal di penjuru nusantara. Salah satunya Suku Baduy. Jauh dari
hiruk pikuk perkotaan mereka hidup bersentuhan dengan alam.
Kawasan Kanekes,
Leuwidamar, Lebak, Banten masyarakat Suku Baduy tinggal. Dari Stasiun Rangkasbitung, Banten perjalanan
ditempuh menggunakan mobil selama tiga jam lamanya. Jalan terjal dan berkelok
harus dilalui pengunjung--Peace Train Indonesia--untuk sampai ke
Ciboleger—pintu masuk menuju perkampungan Baduy. Hamparan sawah dan pepohonan
hijau memanjakan mata sepanjang perjalanan.
Setiba di Ciboleger perjalanan
dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak. Penuh bebatuan, pengunjung berjalan
selama satu jam. Menjelang malam, akhirnya tiba di daerah pemukiman penduduk
Baduy. Pemukiman gelap gulita tanpa penerangan. Gemericik air sungai mengisi
sunyinya malam. Kedatangan kami disambut hangat oleh warga dan kepala Suku
Baduy. Singgah di rumah salah satu warga dengan hidangan Pepes Belut menjadi
ucapan selamat datang setelah melalui perjalanan panjang.
Ada yang berbeda dengan
bangunan rumah Suku Baduy. Rumah-rumah panggung berdiri saling berhadapan
menghadap Utara dan Selatan. Lantai ruangan tebuat dari anyaman bambu sedangkan
atap rumah dilapisi dengan daun kelapa. Nuansa alam begitu terasa, bahkan
perabotan rumah seperti gelas pun terbuat dari bambu.
Menjaga
Alam
Gunung
teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak. Sepenggal
peribahasa adat Suku Baduy yang menyiratkan pesan untuk melestarikan alam. Kalimat
tersebut dapat diartikan “Gunung tidak boleh dihancurkan, dan lembah tidak
boleh dirusak.” Pesan inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy untuk
terus menjaga kelestarian alam. Sejak ratusan tahun lalu, mereka hidup sebagai
suatu kelompok yang jauh dari modernitas.
Suku pedalaman yang terletak
di wilayah dengan luas kurang lebih 5000 hektar ini terdiri dari Suku Baduy Dalam
dan Suku Baduy Luar. Untuk mengenali masyarakat dari keduanya dapat diketahui
dari baju dan ikat kepala yang dikenakan. Lelaki Baduy Dalam mengenakan ikat
kepala dan baju berwarna putih. Sedangkan baju hitam dan ikat kepala biru hitam
bercorak kreweng terwengkal dikenakan lelaki Baduy Luar. Di samping itu, wanita
Baduy—baik Baduy Dalam maupun Luar—mengenakan
sarung batik biru, kemben biru, dan baju luar putih berlengan panjang.
Masyarakat Baduy Luar
mulai mengikuti modernitas. Tampak dari aktivitas sehari-hari seperti jual beli
hasil kerajinan mereka kepada masyarakat luas. Beberapa dari mereka juga telah
mengenakan ponsel. Berbeda halnya
masyarakat Baduy Dalam yang tak diperkenankan mengikuti perkembangan zaman yang
semakin modern. Kearifan lokal sangat dijaga oleh mereka. Begitu juga dengan
kelestarian alam dan lingkungan.
Kepercayaan
Leluhur
Masyarakat Baduy
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa Nu Kawasa sebagai
pemegang kuasa tunggal. Tak hanya itu, mereka juga beranggapan masyarakat di
wilayah Pegunungan Kendeng termasuk keturunan Batara Cikal, satu dari tujuh
dewa yang utusan dari langit. Nabi Adam memiliki hubungan yang erat dengan
Batara Cikal. Oleh karenanya, Suku Baduy menganggap Nabi Adam sebagai nenek
moyang mereka.
Sejatinya, kepercayaan
Sunda Wiwitan masyarakat Baduy bersumber dari ritual pemujaan kepada roh nenek
moyang. Kemudian agama lain masuk seperti Buddha, Hindu, dan Islam. Pemujaan
ini mengalami akulturasi yang melahirkan kepercayaan yang hingga kini dianut
oleh urang Kenekes—sebutan untuk orang Baduy.
Hingga kini,
kepercayaan Sunda Wiwitan yang diyakini oleh orang Baduy belum diakui sebagai
sebuah agama di Indonesia. Meskipun begitu, mereka tetap memegang teguh
kepercayaannya.
Sama halnya dengan Pikukuh—adat
istiadat—bagi mereka ialah harga mati. Kebiasaan yang tidak pernah dilakukan
oleh nenek moyang tidak boleh dilakukan juga oleh orang Baduy Dalam. Begitu juga
makanan yang tidak pernah dimakan nenek moyang tidak boleh dimakan oleh mereka.
Bahkan bagi para pelanggar larangan tersebut dapat dikeluarkan dari Baduy
Dalam.
Siti Heni Rohamna