Generasi milenial berlomba-lomba memanfaatkan
teknologi informasi di era digital ini. Perdagangan elektronik menjadi salah
satu bentuk perkembangan teknologi yang cukup signifikan sejak beberapa tahun ke
belakang. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi tahun 2016, perdagangan elektronik di Indonesia terus tumbuh sekitar 17 persen dalam 10 tahun terakhir dengan total
sekitar 26,2 juta usaha.
Pertumbuhan ini tidak lepas dari peran media
sosial yang sedang berkembang pesat. Peran penting tersebut dipegang dalam hal
promosi. Berbagai jenis barang dan jasa ditawarkan, mengisi beranda setiap
pengguna. Kemudahan bertransaksi pun didapatkan. Hanya dengan duduk manis di
rumah, barang akan datang sesuai dengan pesanan.
Bermedia sosial
pun seakan menjadi hobi kebanyakan mahasiswa saat ini. Selain sebagai hiburan, mereka
juga melihat peluang bisnis di dalamnya. Minim modal, sebuah metode bisnis
mulai marak di kalangan organisasi mahasiswa. Mereka memanfaatkan media sosial
dalam mencari dana untuk menjalankan suatu program kerja atau acara.
Paid Promote (PP) namanya, atau promosi berbayar. Dengan
memajang sebuah produk dari pengiklan di masing-masing akun panitia, mereka
mendapat timbal balik berupa uang maupun barang. Cara ini dianggap efektif
untuk mendapat dana tambahan, salah satunya melalui media Instagram.
Seperti halnya International Culture Festival
(ICFest) 2018, panitia melakukan PP sebagai sumber dana. Acara yang
diusung Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa-Foreign Language Association ini baru
pertama kalinya melakukan PP. Sayang, PP tidak bisa menjadi
sumber dana utama karena tak menghasilkan dana yang besar. Walau demikian, cara
ini tidak berpotensi rugi. “Cari duit tanpa bermodal,” ujar Kepala Divisi Bazaar
and Fundraising ICFest 2018 Syifaa Azzahra, Senin (17/9).
Selain ICFest 2018, HIMSI Exportation 2018
juga melakukan PP di Instagram untuk pertama kalinya tahun ini.
Terdapat sekitar dua puluh toko online berminat utuk dipromosikan
panitia. Kepala Divisi Dana Usaha HIMSI Exportation 2018 Fatimah Rani
mengatakan, pemasukan dari PP sangat membantu dalam pencapaian target
dana usaha. “Hanya bermodal kuota internet, ditambah tidak lelah fisik
dibanding dengan berjualan barang,” jelasnya, Senin (17/9).
Akan tetapi, beberapa orang mengaku tidak
terlalu tertarik melihat PP di beranda Instagram dengan produk
yang dipromosikan, salah satunya Fauziyah Oktariyanti. Mahasiswi Pendidikan
Bahasa Arab ini menganggap PP sebagai spamming karena diunggah
berulang kali. “Tidak pernah ada rasa penasaran sama sekali,” katanya, Senin
(17/9).
Berbeda dengan
Fauziyah, Agustin Wahyuni beranggapan lain. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris
tersebut sering kali melihat beberapa produk menarik dan berminat untuk
membelinya. Ia tertarik ketika melihat barang-barang seperti alat-alat tulis,
binder, pun makanan. “Walau tidak sampai membelinya,” ujarnya, Kamis (20/9).
Menurut Yusuf Durachman,
salah satu Dosen Pengantar Bisnis di Fakultas Sains dan Teknologi, PP
merupakan fenomena yang marak saat ini. Tak hanya menguntungkan, PP juga
dianggap efisien karena dapat mempromosikan suatu produk dengan murah dan cepat.
PP dinilai efektif karena banyaknya pengguna media sosial saat ini.
“Dengan begitu, informasi dapat tersebar luas dengan cepat,” ungkapnya, Rabu
(19/9).
MSSM