Menawarkan pesona
alam yang menawan. Natuna, menyimpan kisah kampung tertinggal.
Pesona laut
identik dengan keindahan alam Natuna. Tampak alami dengan pasir putih yang
menghampar, belum terjamah sebagai wisata populer masyarakat. Batu besar yang
menjulang menjadi ciri khas tepi pantai Natuna.
Dari
Jakarta, perjalanan menuju wilayah yang berbatasan langsung dengan Thailand ini
dapat ditempuh dengan jalur udara menuju
Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Tak ada transportasi langsung menuju Natuna
dari ibu kota, perlu melanjutkan dengan pesawat perintis ke Bandara Raden
Sadjad, Ranai. Bandara itu juga dijadikan pangkalan TNI Angkatan Udara.
Atmosfer berbeda
dari ibu kota amat terasa sejak langkah pertama turun dari pesawat. Terik
matahari terasa, tapi semilir angin tepi laut mebiaskan panas. Ranai, Ibu Kota
Natuna menjadi tujuan kami, mahasiswa Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Riset
Aksi tahun 2018 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Debur air
laut di pantai dan sapuan pasir putih tidak menjadi tujuan.
Masih tiga
jam perjalanan harus ditempuh lewat jalur darat. Menyusuri jalanan naik-turun
dan berkelok. Tak jarang mobil pun harus terhenti karena medan yang
berlumpur. Guyuran hujan membuat air
menggenangi badan jalan yang berlubang. Rimbunnya pepohonan menjadi penghias
sepanjang perjalanan. Tujuan kami ialah Kampung Segeram, Kelurahan Sedanau,
Bunguran Barat, Natuna.
Perjalanan
belum usai. Perahu yang masyarakat lokal sebut dengan pompong telah menunggu di
bibir sungai Segeram. Butuh waktu satu jam untuk menyusuri hitamnya air sungai
untuk mencapai tujuan. Pepohonan yang mengapit kedua sisi sungai masih lebat.
Tanaman bakau tumbuh liar. Tak mustahil jika buaya muara bersarang di sana.
Pelan laju
pompong akhirnya membawa kami sampai di dermaga Kampung Segeram. Terlihat dua
buah rumah berdiri di pinggiran sungai. Sepi-senyap, tak ada keramaian. Bak
kampung di tengah belantara hutan, masyarakat Segeram hidup tanpa aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Guna
mengatasi permasalahan itu, terik matahari dimanfaatkan masyarakat sebagai
sumber listrik tenaga surya. Tak besar daya yang dihasilkan, tapi paling tidak
dapat menyalakan lampu untuk menerangi kampung dari gelapnya malam. Bukan saja
akses jalan, akses informasi pun tak kalah sulit karena tiadanya sinyal
telepon.
Tak banyak
penghuni yang tinggal di sini. Penduduk asli Segeram memilih bermigrasi ke desa
lain untuk mendapat penghidupan dan pendidikan yang lebih layak. Di Segeram,
hanya ada satu sekolah dasar, SDN 010 Sedanau. Dengan guru dan fasilitas yang
terbatas, 14 orang muridnya harus tetap belajar. Namun kini, Sekolah Menengah
Pertama 01 sedang dirintis yang bertempat seatap dengan SD.
Jumlah penduduk
di Segeram tercatat hanya 27 kepala keluarga saja. Itu pun dengan jarak antar
rumah yang jauh, terpisah hutan dan kebun warga. Guna memenuhi kebutuhan
sehari-hari, warga Segeram mengandalkan hasil kebun dan pasokan dari Sedanau.
Itupun, harus berpindah pulau, menyeberangi lautan selama satu jam menggunakan
Pompong.
Kental
dengan budaya melayu, masyarakat Segeram penuh keramahan. Sambutan hangat diberikan
warga ketika ada orang dari luar kampung datang. Tak hanya adat melayu yang
masih terjaga, konon Natuna juga dipercaya masyarakat sekitar sebagai tempat
nenek moyang memulai kehidupan.
Atik Zuliati