Oleh: Moh. Alim
Tradisi kerapan sapi adalah salah satu manifestasi penduduk Madura dari
empat kabupaten, sebagai bentuk eksistensi dirinya dalam acara even lokal.
Hampir semua penduduk madura ikut berpartisipasi. Bahkan yang bukan etnis
madura tetap berkunjung untuk menikmati pada ajang even pacuan sapi.
Kyai Baidawi Dan Etnis Madura
Kuntowijoyo menyebut bahwa
tradisi (budaya) khas Jawa Timur adalah sebuah kombinasi pesta rakyat dan pertunjukan
kesehatan ternak. Madura sebagai daerah pinggiran mempunyai keragaman tradisi
yang unik. Pacuan sapi (kerrap) yang
berlangsung turun-temurun adalah salah satu yang menarik perhatian masyarakat
luas. Mungkin pacuan sapi lebih awal keberadaanya ketimbang pacuan kelinci yang
baru-baru ini sedang marak di kalangan penduduk madura. Kedua hal tersebut
memiliki kemiripin dan corak khas masing-masing.
Kerapan sapi atau disebut pacuan
sapi tidak lepas dari kehadiran sosok Kyai Ahmad Baidawi. Dia dikenal sebagai Pangeran
Katandur. Konon dia adalah kyai penyebar agama Islam di tanah Madura, yakni
Sumenep sebagai daerah pertama. Penyebaran itu merupakan perintah langsung dari
seorang wali yang sangat berpengaruh di tanah Jawa dalam penyebarkan Agama Islam:
Sunan Kudus. Sebelum pengembaraan, Kyai Baidawi dibekali dua tunggul jagung
yang masih murni oleh sang guru.
Dalam pengembaraannya di tanah
madura, sang kyai berhati-hati dalam mewujudkan tujuan utamanya yakni untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Maka mula-mula ia memilih berbaur dan
mendekatkan diri dengan masyarakat. Sang kiyai mengajak dan mengajarkan
masyarakat cara bercocok tanam. Dua tunggul jagung yang diberikan oleh sang
guru dibaca dengan baik oleh sang kiyai sebagai isyarat ke arah ajakan bercocok
tanam itu.
Saya menyebut ini sebagai suatu
cara yang tak biasa. Kita tentu tergoda untuk bertanya-tanya. Tetapi saya
membaca Madura dalam Empat Zaman-nya
Huub de Jonge yang menyebut tanah madura itu kering. Iklimnya panas. Dengan
fakta itu, kita dapat mengerti mengapa Sunan Kudus membekali Kyai Baidawi
dengan dua tunggul jagung: sang Sunan (sangat) boleh jadi memberi isyarat agar
jagung itu ditanam di tanah Madura. Namun soalnya bagaimana jagung itu dapat
tumbuh subur di atas tanah (Madura) yang gersang dan panas?
Dalam menjawab pertanyaan itu
mungkin pertama-tama kita harus mengetahui latar belakang Sunan Kudus dan Kyai
Baidawi selaku muridnya. Dari sisi ini ada praktik ritual yang bernuansa
metafisik. Mohammad Kosim – salah seorang dosen IAIN Pamekasan – menjelaskan bahwa
keunikan Kyai Baidawi dalam bercocok tanam dengan masyarakat Madura terlihat
pada sisi religiusitasnya. Apa yang dilakukan oleh sang kiyai – perihal
bercocok tanam di atas tanah yang gersang – merupakan sesuatu yang melampaui
rasionalitas manusia.
Dalam setiap
bercocok tanam, tak lupa dia menyelipkan ajaran Islam. Misalnya, sang kiyai
membimbing dan mengajarkan masyarakat tani agar sebelum tongkat ditancapkan ke tanah,
mula-mula petani mengawali dengan bacaan bismillah.
Selanjutnya setelah jagung mau dimasukin ke tanah yang sudah dilubangi,
diawali dengan membaca dua kalimat syahadat.
Di musim panen, sang kiai mengajarkan masyarakat tani cara bersyukur kepada
yang maha pengasih dan penyang (Allah). Seterusnya, dia mengajarkan ritual
shalat lima waktu.
Tidak cukup di
situ. Ide baru tumbuh. Kiai Baidawi juga memikirkan alat yang dapat membantu
tenaga petani. Pilihannya jatuh pada kerbau atau sapi. Kedua hewan ini dipilih
oleh sang kiai untuk membantu pekerjaan bertani. Dengan ide itu, kiai akhirnya
memelihara sepasang sapi dengan diberi diberikan aksesoris yang dimanfaatkan
dari alam sekitar.
Dari sini kita
bisa melihat asal usul kata kerapan atau karapan itu berasal dari kata
‘garapan’. Kiai Baidawi – dengan mempergunakan sepasang sapi atau kerbau itu –
mula-mula mengadakan ‘garapan’ di sawah atau di alun-alun. Hal itu menarik
perhatian dan membuat masyarakat petani terhibur. Tetapi garapan itu dilakukan
juga dalam rangka membajak tanah.
Berikutnya
hampir tiap musim panen, selalu digelar adu kecepatan sapi ditunggangi para
petani sambil membajak tanah. Dengan gelaran ini, makin tumbuh antusiasme
petani sehingga banyak dari mereka memelihara sapi. Hampir di setiap
rumah-rumah tani punya peliharaan sapi. Kemudian hari, sapi tidak hanya
dijadikan sebagai alat tani. Namun juga dijadikan alat dagang, transportasi
atau bahasa lain disebut Dokar. Sapi
ini sebagai penghasilan kedua setelah jagung.
Karena misi dari
Kyai Baidawi ini berhasil, lekas ia melaporkan kepada gurunya Sunan Kudus.
Setelah ia melapor ia tetap ditugas menyebarkan Agama Islam dan disuruh menetap
di Madura. Sebelum balik kembali ke tanah Madura, Sunan Kudus dan muridnya
berdoa agar umur jagung yang awalnya ditanam dan bisa panen dalam sehari
berubah seratus hari. Akhirnya doa beliau dikabulkan. Di tanah Madura, Kyai
Baidawi menjelaskan kembali kepada masyarakat petani tentang perubahan umur
jagung. Namun hal itu tidak masalah bagi petani. Masyarakat tetap tidak pudar
dari semangatnya untuk bertani. Karena dengan bertani dan memelihara sapi
secara finansial ia bisa terbantu.
Ada Pelintiran Tradisi
Secara historis
dalam penyebutan pacuan sapi disebabkan karena sepasang sapi adalah jantan yang
diadu lari cepat jarak jauhnya. Setiap sepasang sapi dikendalikan oleh joki
atau istilah bahasa Madura (tokang
tongko’). Selain itu, sapi betina juga dijadikan hiburan masyarakat Madura
yang dikenal sapi hias atau sapeh sono’.
Sapi betina ini diadu kecantikannya dengan diberi aksesoris di bagian punggung
sapi dan kepalanya secantik mungkin. Peran musik lokal seperti saronen juga dijadikan attraksi
penggelaran hiburan masyarakat Madura dibarengi dengan penari kampung yang
langsat sebagai tontonan penduduk setempat dengan ciri khasnya masing-masing.
Secara postur,
sapi Madura kecil beda dengan sapi-sapi yang di luar. Sebab sapi Madura tidak
menghasilkan susu. Pada masa Belanda, sapi Madura dilarang dieksploitasi dan
dikirim ke luar Madura karena sapi yang berbulu coklat sudah cocok dengan
tanahnya yang gersang. Pun demikian sapi yang di luar Madura tidak dibolehkan berada
di Madura, takut tidak cocok dengan iklimnya dan takut menggangu kelestarian
orang-orang Madura. Menurut Glenn
Smith, sapi Madura berasal dari perkawinan silang antara banteng lokal (bos javanicus) dengan jenis Sinhala atau
Ceylon dari Zebu yang sudah dijinakkan (bos
indicus).
Yang patut dicatat dan
disesalkan, ada perbedaan yang sangat jauh dari semangat penggelaran pacuan
sapi di masa dulu dan sekarang. Di masa Kiai Baidawi, even pacuan sapi sekedar
dijadikan hiburan masyarakat tani. Tak ada sesuatu yang berlebihan di masa itu
ketimbang pergelaran pacuan di masa sekarang. Di masa dulu, masyarakat dulu
lebih manusiawi dalam memperlakukan sapi termasuk dalam gelaran pacuan binatang
tersebut. Saya katakan ‘manusiawi’ sebab orang-orang mempertimbangkan
aspek-aspek penting untuk tidak menyakiti sapi.
Ini berbeda sekali dengan apa
yang terjadi pada pergelaran pacuan (kerapan) sapi saat ini. Di masa kini, kita
menyaksikan betapa sadisnya orang-orang (hanya demi mengintai kemenangan dalam
kerapan sapi) melakukan hal-hal yang sangat menyiksa terhadap hewan. Satu
contoh, sapi-sapi yang diikutkan kerapan (pacuan) diolesi rheumason di sekitar matanya, pantatnya dilukai dengan menggunakan
paku dan kadang diolesi pula.
Praktik-praktik semacam itu menjadikan sapi
tampak kesurupan. Matanya melotot kemana-mana. Nafasnya mendesis. Apa yang
terjadi? Bukan lagi penghiburan? Bukan lagi mewarisi semangat yang diberikan
Kiai Baidwai. Kerapan sapi yang terjadi saat ini adalah bentuk penyiksaan atas
binatang yang mungkin disadari atau tidak oleh masyarakat. Penyiksanaan ini
dilanggengkan oleh pesta budaya.
Jika hal-hal semacam ini masih
dipertahankan, saya sendiri tidak sepakat. Kebudayaan semacam ini lebih banyak mengandung
mudarat bagi hewan daripada manfaatnya. Jika kebudayaan kerapan sapi dengan
cara ini tetap dipertahankan, itu berarti kita menutup mata pada penyiksaan
terhadap hewan yang selama ini banyak membantu masyarakat petani. Bila kita
sepakat bahwa kerapan sapi sebagai ikon kebudayaan Madura patut untuk
dipertahankan, tak ada jalan lain kecuali kita melakukannya dengan lebih baik
dan berperikehewanan.