DONGGALA - Kontras mengundang takzim kepada Ilahi, kesan yang ditinggalkan Masjid Jamik Pantoloan yang kini masih berdiri gagah di antara tumpukan puing dan lumpur kering. Masjid ini menjadi salah satu bangunan yang tersisa utuh di Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli, Kabupaten Donggala.
Muhammad
Alif Firmansyah (18), Sang Muazin Masjid Jamik Pantoloan, mengisahkan
detik-detik gempa dan tsunami menghantam pemukiman di sekeliling masjid
tersebut. Kejadian yang hingga kini ia resapi, bagaimana kuasa Allah terlihat
nyata.
Kala
itu senja hampir menutup, jemaah mulai berdatangan. Barisan sandal jepit juga
beberapa sepatu mulai ditata di halaman depan masjid. Ada yang sedang memulai
wudunya, ada yang khusyuk berbaris di saf-saf mendengar azan Magrib selesai
dituntaskan.
Tapi,
di momen itu, semua jemaah masjid masih ingat bencana kecil yang terjadi
beberapa jam sebelumnya, kala azan Asar berkumandang. Rasa takut masih
menghantui mereka, mengingat gempa pertama mengguncang cukup kuat.
Sembari
perlahan mencoba melupakan gempa pertama, Azan Magrib tetap bersuara lantang.
Sampai akhirnya, pelantam suara Masjid Jami Pantoloan mengumandangkan kalimat
“Hayya 'alash sholah”. Suara tetap lantang meski sempat berjeda semenit dua
menit.
Pasalnya,
kala itu guncangan gempa susulan kembali datang dengan kekuatan yang jauh lebih
besar. Semua jemaah berhamburan keluar. Namun tidak dengan Sang Muazin. Ia
tetap menggenggam mikrofonnya melanjutkan azan yang terputus.
“Pas
itu Magrib. So (sudah) azan. Kami ambil wudu semua. Pas ambil wudu dia goncang
pertama ke samping. Lalu tanah bergoncang lagi naik turun. Semua lari, tapi
azan tetap diselesaikan,” kisah Alif.
Tidak
ada yang pernah menyangka, azan Magrib Jumat (28/9) sore itu bakal menjadi azan
Magrib yang tak mungkin dilupakan. Alif, pemuda semester tiga jurusan sosiologi
Universitas Tadulako itu bercerita, setelah azan diselesaikan, tanah masih
bergoyang keras sekali.
“Gempa
itu goncang begini naik turun. Kita taluncur, ada yang tasalto. Orang berjalan
merangkak seperti bayi, yang naik motor itu jatuh semua. Rumah-rumah juga tidak
ada runtuh ke samping, tapi runtuh ke bawah semua. Pas udah lama dari situ,
baru air (tsunami) naik,” tutur Alif dengan logat To Kaili (orang Kaili) yang
kental.
Tsunami Datang Membelah Masjid
Suara
gemuruhnya masih diingat betul oleh Alif. Hanya berselang beberapa menit usai
gempa besar mereda, Alif dan jemaah masjid lain yang berlari ke halaman luar
masjid, menyadari suara gemuruh besar datang dari arah laut.
“Suaranya
itu besar sekali. Gemuruh setelah gempa. Ternyata itu tsunami. Tingginya
setinggi pohon kelapa,” ujar Alif mengingat momen-momen kritis di Jumat petang
itu.
Dari
kejauhan di arah utara, Alif menyimak betul, gemuruh tsunami datang mendekat.
“Pertama itu air naik vertikal, berdiri. Air bergerak cepat sekali dari sana
(utara) ke mari (ke arah Masjid Jami Pantoloan). Seketika itu kami lari ke atas
gunung. Tapi kuasa Allah, tsunami itu dia belah ini masjid. Dia lompati itu
masjid, tsunami tidak pernah menghantam masjid,” ujarnya selagi memisahkan
kedua tangannya ke kanan dan kiri, menirukan bagaimana air tsunami membelah.
Ya,
keajaiban terjadi. Tsunami tak sampai menyapu bersih Masjid Jami Pantoloan.
Bahkan, hantaman keras tsunami tidak pernah bertemu dengan dinding Masjid Jami
Pantoloan. Air tsunami itu membelah, membagi dua alirannya tapi menyapu habis
pemukiman di sekeliling masjid.
Ketika
gulungan tsunami datang, Alif dan jemaah lain berkisah, sempat mengungsi ke
atas bukit. Jaraknya tak begitu jauh dengan pesisir pantai.
“Kami
lari ke bukit. Selesaikan salat Magrib di atas bukit. Lalu kami kembali ke
bawah. Kami kaget masjid nggak kena hantaman (tsunami) itu. Di dalam masjid
hanya ada air laut yang pasang saja, setinggi dengkul. Tapi tidak ada yang
hancur. Tembok tidak ada yang retak,” kisahnya.
Belasan
jemaah Masjid Jami Pantoloan yang kembali turun dari bukit terhenyak melihat
kontrasnya kondisi di depan mata mereka. Masjid utuh tanpa sedikitpun ada bekas
terkena tsunami, tapi di sekeliling masjid rumah rata dengan tanah, jenazah
korban tergeletak kaku dalam spasi tiap beberapa meter.
“Di sini, di sekeliling masjid, semua ada
jenazah karena memang rumah padat sekali di sekitar masjid itu. Jemaah masjid
yang bantu pertama kali evakuasi jenazah. Kami pinggirkan semua di halaman
masjid. Tapi alhamdulillah tidak ada jenazah yang terlempar sampai ke dalam
(masjid),” ujar Alif.
Berkisah
serupa dengan Alif, Bahtiar (49) jemaah lain Masjid Jamik Pantoloan pun
menyimak langsung, betapa tsunami hanya melintas di samping masjid. Meski
selamat, Bahtiar harus mengikhlaskan ibundanya wafat diterjang tsunami.
Jumat
(28/9) petang itu, setelah gempa besar, Bahtiar seketika mengingat kondisi
ibunya. Dari masjid ia berlari ke rumahnya yang berjarak hanya puluhan meter.
“Saya gendong ibu, tiba-tiba air tsunami mendorong tubuh saya sampai tenggelam.
Saya terseret 200 meter. Ibu terlepas dari punggung. Di dalam air tsunami, saya
diblender sudah. Saya hanya bisa berzikir,” kisahnya.
Bahtiar
selamat setelah sebatang kayu menjepit kakinya. Hempasan tsunami tak sampai
membuat Bahtiar hanyut karena kakinya tersangkut. Ketika tsunami surut, kakinya
sempat terluka karena kuatnya jepitan kayu.
“Saya
langsung salat Magrib di tempat kaki saya terjepit itu, tapi saya sudah tidak
tahu lagi di mana ibu. Tiga hari kemudian jenazah ibu akhirnya ketemu di bawah
runtuhan rumah tidak jauh dari masjid,” kenang Bahtiar
Jumat
malam itu, Bahtiar, Alif, juga seluruh jemaah masjid percaya kalau Allah sedang
tunjukkan kuasanya, melindungi rumah-Nya walau tsunami menerjang hebat pesisir
Pantoloan. “Sudah saya tidak tahu lagi apa yang membuat air terbelah. Kenapa
masjid ini bisa utuh sementara di sekeliling rumah padat itu semua hancur. Kuasa
Allah sudah,” tutur Alif.
Seluruh
jemaah salat Magrib Masjid Jamik Pantoloan selamat dari bencana besar itu,
termasuk Ustaz Upik, imam tetap Masjid Jamik Pantoloan. Alif bahkan bercerita,
kala kejadian tsunami itu, Ustaz Upik satu-satunya yang masih berada di dalam
masjid, menunggu dan bertahan tanpa pernah terseret tsunami.
“Ustaz
Upik itulah yang diam di masjid sini. Dia menyaksikan tsunami hingga surut
kembali. Tapi Ustaz Upik sekarang ada di tenda pengungsian daerah Palu Utara bersama
keluarganya,” tutup Alif.[] Shulhan Syamsur Rijal