DONGGALA -
Awan mendung menyelimuti Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah. Ombak yang menghempas bibir pantai cukup besar, deburnya terasa
meramaikan telinga.
Sepi
sepanjang jalan, hanya beberapa markah jalan memperingatkan pengendara untuk
pelan. "Sedang ada kedukaan," begitu tulisan di atas papan biru yang
berdiri di satu lajur jalan. Tapi ketika masuk ke jalan dusun empat Desa
Lompio, terlihat ramai warga berkerumun di bawah tenda dengan asap mengepul di
atasnya.
Warga
bersiap memasak potongan daging sapi yang sebelumnya disembelih. Sejak Ahad
(14/10) pagi, tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Posko Gempa Bumi dan Tsunami
Sirenja memotong lima ekor sapi untuk pengungsi di Desa Lompio. Di desa ini ada
sekitar 900 orang pengungsi yang terpisah di empat dusun. Mereka mendirikan
tenda di kebun kelapa yang tak jauh dari pemukiman mereka.
Lima
ekor sapi yang dipotong di Dusun Empat, Lompio akan dibagikan ke dusun lainnya.
Tak butuh waktu lama untuk memotong hewan bertubuh besar itu, masyarakat
bergotong-royong, mempercepat pekerjaan.
Setelah
terpotong, dengan sigap ibu-ibu di sana memegang pisau, tanda siap mengolah
daging. Bertatak gedebok, ibu-ibu yang wajahnya dibaluri bedak dingin memotong
daging seukuran sekali gigit. “Daging ini nanti kami olah untuk sambal goreng,”
ungkap Ratmi, salah satu pengungsi, sambil memotong daging.
Untuk
kaki dan tulangan sapi, warga di sana mengolahnya menjadi Kaledo. Masakan khas
Donggala ini terkenal dengan rasa kuahnya yang enak. “Kaki lembu Donggala, itu
kepanjangan kaledo,” tambah Ratmi.
Di
sisi lain dapur umum, ada ibu-ibu yang sibuk menanak nasi. Kepulan uap panas
dengan aroma khas nasi tercium. Mereka juga merebus air, guna mengempukkan
daging yang hendak mereka makan.
Sore
harinya, makan bersama diadakan. Ini merupakan cara masyarakat untuk mempererat
silaturahmi, terlebih pascabenca seperti ini. “Kita makan bersama, sambil
berdoa agar tak mendapatkan bencana lagi,” kata Kepala Desa Lumpio, Zulfikar.
Pengungsi Butuh Tenda
Sama
seperti masyarakat terdampak gempa lainnya di Sulteng, warga Lumpio pun telah
meninggalkan rumah mereka sejak hari pertama gempa. Rumah mereka sebagian
hancur, namun ada juga yang takut kembali ke rumah karena masih seringnya
getaran terjadi. Mendirikan tenda menjadi pilihan di tengah bencana yang
menerpa Tanah Celebes.
Zulfikar
mengatakan, sampai saat ini kebutuhan yang paling mendasar untuk pengungsi
adalah tenda. Sebagian pengungsi di sana masih tak memiliki tenda sendiri.
“Banyak kepala keluarga yang menumpang tenda, bahkan satu tenda sampai lima
keluarga,” terang Zulfikar.
Dua
hari sebelumnya, Jumat (12/10), tim ACT juga menyambangi desa ini untuk
membagikan pangan dan logistik, termasuk terpal untuk penutup tenda. Tim akan
terus bergerak menjangkau desa-desa terdampak lainnya, menyalurkan amanah kepedulian
masyarakat Indonesia. [] Eko Ramdani