Sampai saat ini, profesi Pustakawan
di Indonesia masih dianggap sebagai profesi yang kurang bergengsi dan
biasa-biasa saja di mata masyarakatnya. Kenapa demikian? hal ini disebabkan oleh
kurangnya kesadaran para pustakawan dalam menunjukan tugas dan fungsinya dalam rangka
membantu pemustaka untuk menemukan informasi yang dibutuhkannya. Sehingga pandangan
pemustaka terhadap pustakawan tak lebih hanya sebagai ‘seorang penjaga buku’
dan semisalnya.
Selain itu, sikap yang ditunjukan
oleh pustakawan dalam melayani pemustaka juga perlu disoroti. Pasalnya, tak
jarang sikap mereka tidak mencerminkan kode etik yang harus dimiliki oleh
seorang profesi. Contohnya, sikap pustakawan yang melayani pemustaka dengan
tampang masam dan jutek, sehingga pemustaka merasa kurang nyaman. Atau sikap
pustakawan yang kurang antusias ketika didatangi oleh pemustaka untuk diminta
bantuannya. Hal ini tak jarang ditemukan, baik di perpustakaan sekolah maupun
di perpustakaan perguruan tinggi.
Tak sebatas mengolah buku
Perlu diketahui, bahwa tugas dan
fungsi seorang pustakawan didalam perpustakaan tidak hanya sebatas mengolah
buku ataupun melayani para pemustaka yang meminjam dan mengembalikan buku.
Lebih dari itu, pustakawan memiliki kewajiban untuk membantu para pemustaka
dalam mencari kebutuhan informasinya, baik informasi tersebut tersedia di
perpustakaan maupun di luar perpustakaan. Pustakawan juga harus bersikap ramah jika
ada yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Dengan kata lain, jika ada
pemustaka yang kesulitan dalam menemukan koleksi bahan pustaka yang dicari maka
pustakawan berkewajiban untuk aktif dalam membantu permasalahan tersebut. Jika
hal itu dilakukan oleh para pustakawan dalam melayani pemustakanya maka tugas
dan fungsi pustakawan akan sangat dirasakan oleh pemustaka sehingga pandangan
buruk tentang pustakawan dapat berubah.
Kurangnya sosialisasi
Di dalam perpustakaan perguruan
tinggi, baik perpustakaan pusat maupun fakultasnya, jumlah pemustakanya relatif
jauh lebih banyak dibandingkan dengan perpustakaan jenis lainnya. Tentu
pustakawan tidak memiliki banyak waktu dan tenaga dalam mengatasi seluruh
permasalah yang dihadapi pemustaka, karena jumlah pustakawan yang ada tidak
sebanding dengan jumlah pemustaka yang membutuhkan bantuan.
Dalam hal ini, maka perlu adanya
upaya-upaya yang dilakukan perpustakaan untuk mengatasi hal tersebut. Dalam
dunia perpustakaan, ada solusi yang dikenal dengan istilah ‘user education´
atau ‘pendidikan pemustaka’. Pendidikan pemustaka merupakan bentuk kegiatan yang
dapat berupa workshop atau seminar yang bertujuan untuk memberikan
arahan bagi para pemustaka dalam memanfaatkan perpustakan secara efektif dan
efisien. Didalamnya juga terdapat pembelajaran tentang teknik-teknik penelusuran
informasi, sehingga pemustaka dapat dengan mandiri dalam menelusuri informasi dan
juga dapat meringankan pekerjaan pustakawan.
Dalam prakteknya, kegiatan ini
masih jarang dilakukan. Padahal kegiatan ini dapat membantu pihak perpustakaan
–khususnya pustakawan– itu sendiri dalam
mengatasi permasalahan pemustakanya. Kegiatan serupa yang biasa ditemukan
adalah saat orientasi perpustakaan bagi mahasiswa baru, yakni berupa sosialiasi
mengenai koleksi-koleksi dan layanan-layanan yang tersedia didalam
perpustakaan.
Pada dasarnya kegiatan tersebut
sudah cukup bagus, mengingat para mahasiswa baru memerlukan arahan sebelum
memanfaatkan segala fasilitas di perpustakaan tersebut. Namun sayangnya, kegiatan
tersebut hanya dilakukan satu kali yakni saat awal-awal perkuliahan. Sementara
kegiatan pendidikan pemustaka merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara
berkala karena arahan yang diberikan tidak hanya sebatas pengenalan koleksi
atau fasilitas, namun pihak perpustakaan juga harus memberikan pendidikan
mengenai teknik-teknik menelusur informasi yang efektif dan efisien.
* Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta