Surat tentang penundaan eksekusi pembebasan lahan telah dilayangkan Komisi
Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) kepada pihak Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, Kuasa Hukum UIN Jakarta menyatakan
tidak ada surat resmi dari Komnas HAM.
Wajah perempuan paruh baya itu tampak muram memandangi rumahnya yang hampir
rata dengan tanah. Bersama anak lelakinya, ia memegang kertas berukuran 30x40cm
bertuliskan “Saya menolak eksekusi sampai adanya solusi bersama sesuai
rekomendasi Komnas HAM”.
Selasa, 28 November lalu, pemandangan di Jalan Kertamukti, Pisangan,
Ciputat, Tangerang Selatan tampak ramai. Bagaimana tidak? Eksekusi yang
berlangsung pukul 10.00-13.00 WIB menampilkan kelihaian dua alat berat bermerk
Komat’su merubuhkan rumah beton bercat kuning—tepat di depan Gedung Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Rumah tersebut diklaim milik Masniar Tanjung,
mantan Staf Bagian Akademik Fakultas Ushuluddin. Terlihat 400 aparat keamanan
dikerahkan demi melancarkan eksekusi tersebut.
“Menteri agama dan rektor sangat tega pada saya. Padahal sudah ada teguran
dari Komnas HAM, tapi tidak diindahkan.” Kalimat tersebut terlontar dari mulut
Masniar Tanjung saat pihak UIN Jakarta melancarkan eksekusi pembebasan lahan
yang kelak akan digunakan untuk Gedung Pascasarjana. Dengan keadaan linglung, Masniar
beberapa kali lari ke tempat eksekusi. Pemandangan tersebut mengundang simpati
aparat keamanan dan warga setempat. “Minum dulu, Bu,” seorang warga menyuguhkan
gelas berisi air pada Masniar demi melerai emosinya.
Konflik kepemilikan tanah ini dimulai ketika Masniar mendapat tanah
tersebut berkat hibah Yayasan Pembangunan Madrasah Islam Ikhsan (YPMII)—sebuah
lembaga di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Surat hibah atas tanah diberikan
oleh Wakil Ketua YPMII Syarief Sugirwo kepada Masniar pada tahun 1981 atas
sumbangsihnya bekerja di UIN Jakarta selama 28 tahun. Menurut adat pada masa
itu, pejabat UIN Jakarta biasanya diberi hak atas tanah di Kompleks Dosen UIN
Jakarta.
Lahan Kompleks Dosen yang penuh menjadi musabab. Alhasil Masniar menyetujui
diberi tanah di daerah Kertamukti dengan memberikan sumbangan pendidikan
senilai 1,5 juta ke UIN Jakarta. Ia mengeluhkan, jika tanah itu bukan miliknya,
mengapa harus bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahunnya. “Pajaknya
sekitar 700ribu per tahun,” keluhnya, Kamis (30/11).
Di atas bidang tanah seluas 300 meter persegi, dibangun 4 rumah milik
Masniar bersama adiknya Masnidar, Masnurdin, Masni, kontrakan lima pintu dan
satu ruko letter L. Ruko tersebut dibangun dengan modal pinjaman bank. Hingga
kini masih ada 90juta uang pinjaman yang belum tertutup. Penderitaannya
bertambah kala dua orang penghuni kontrakan meminta ganti rugi karena belum penuh
satu tahun. “Yang satu baru masuk kontrakan bulan lalu, satunya habis
bulan Maret,” kata Masniar.
Himbauan untuk menyerahkan tanah ke UIN Jakarta sebenarnya telah
dilayangkan pada tahun 90-an. Kala itu, Masniar ditawari ganti rugi sebesar
500ribu per meter. Namun ia menolaknya. “Kami kurang siap. Uang 150 juta jika
dibagi 5 orang hanya 30 juta, sedangkan pendapatan untuk kontrak rumah saja 26
juta per tahun,” ucapnya.
Pada tahun 2000-an silam, Masniar dan orangtuanya pernah dipanggil ke
Kejaksaan Kota Tangerang. Dalam sidang tersebut diklarifikasi mengenai hak
kepemilikan yang sah atas tanah. Ketika diklarifikasi kembali oleh Institut,
Masniar mengaku tidak tahu menahu mengenai keputusan finalnya. “Bapak saya yang
dikasih tahu,” tuturnya.
Setelah 36 tahun tinggal di rumah tersebut, Masniar dipanggil kembali oleh
Kejaksaan Kota Tangerang pada 30 Oktober 2017. Pihak kejaksaan menyatakan,
sejak 1994 tanah tersebut telah diserahkan kembali ke Kemenag. Pada 7 November
2017, panggilan kedua dihadiri kembali oleh Masniar. Ia dimintai tanda tangan
sebagai bukti kehadirannya pada 30 Oktober lalu.
Masniar menyatakan, dalam surat itu terdapat beberapa kejanggalan. Dalam
surat hitam di atas putih menyatakan bahwa Masniar bertemu dengan 4 jaksa,
padahal hanya 2 jaksa. Pada poin-poin itu tertulis, Masniar menolak eksekusi
dan mendapat tanah dari YPMII dengan syarat membayar 1,5juta. Ia menyanggah,
dirinya tidak menyatakan menolak ataupun menerima eksekusi. Bagi Masniar, tanah
tersebut tidak berbayar, hanya memberi sumbangan pendidikan.
Pulang dari kejaksaan, Masniar berniat bertegur sapa dengan Kepala Bagian
Umum UIN Jakarta Encep Dimyati. Encep belum bisa ditemui hari itu. Selang dua
hari, Masniar berniat menemui Encep
tanpa membuat janji. Hari itu, Masniar dipertemukan dengan Kuasa Hukum UIN
Jakarta Hilman Fidyansyah. “Tidak ada uang ganti rugi,” tegas Hilman kepada
Masniar.
Mendengar pernyataan Hilman, Masniar dengan putus asa meminta bantuan ke
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Melalui LBH, ia disarankan untuk berafiliasi
dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut pernyataan
Masniar, Komnas HAM mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Rektor UIN
Jakarta. Surat tersebut berisi himbauan penundaan eksekusi pembebasan lahan
hingga adanya solusi bersama. “Namun UIN Jakarta tidak mengindahkannya,”
lirihnya.
Selaku Kuasa Hukum UIN Jakarta, Hilman pun angkat bicara. Ditemui Institut
di Kantor Bagian Umum, Hilman mengklarifikasi mengenai kasus sengketa tersebut.
Pada 1977, UIN Jakarta membeli tanah di Kertamukti seluas 42 Hektar. Namun,
salah satu aparat pengelola tanah terjerat kasus korupsi. Ia adalah Wakil Ketua
YPMII Syarief Sugirwo—yang memberikan hibah kepada Masniar Tanjung. Ia melakoni
praktik korupsi dengan menjual aset tanah ataupun melalui hibah kepada warga
setempat.
Hilman menegaskan, himbauan penundaan eksekusi dari Komnas HAM yang selama
ini digaungkan oleh Masniar ialah fake. Pihak UIN Jakarta tidak pernah
menerima surat secara resmi dari Komnas HAM. Pasalnya, jika surat itu resmi
dari Komnas HAM, maka seharusnya pihak UIN diundang, bukan diberi surat. Tembusan
pada poin sembilan ditujukan kepada Damaria Listyarti. Hilman menyanggah, nama
tersebut tidak ada hubungannya dengan duduk perkara kasus ini. “Surat ini
ibarat surat yang mati suri,” tandasnya.
Pelbagai bentuk peringatan telah dilayangkan Kemenag kepada Syarief. Namun
peringatan tersebut tetap tidak dihiraukan. Alhasil, pada tahun 1994
dikeluarkan putusan penarikan hak atas tanah di daerah Kertamukti oleh Kemenag.
Selanjutnya, tanah tersebut diserahkan kepada UIN Jakarta demi kepentingan
pendidikan.
Pihak UIN Jakarta tidak memberikan ganti rugi kepada warga yang digusur
rumahnya. Menurut duduk perkaranya, tidak mungkin jika tanah milik negara
diganti dengan uang negara. “Kami sudah tidak punya uang, dulu mau dikasih
ganti rugi mintanya mahal,” sambung Hilman.
Siti Heni Rohamna, Ayu Naina Fatikha, dan Nur Fadhilah
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Institut Edisi November 2017