Sumber foro: Jawa Pos
Oleh: Aisyah
Nursyamsi*
Jakarta,
22 Desember 2004
Roman
senja akhir-akhir ini kembali terlihat janggal. Sepotong langit di balik pohon
Mahoni memperlihatkan warna sore yang
tak biasa. Cahaya kuning kemerahan memantul padanya, menyapu setiap lapis
jalanan aspal. ‘Langit sakit’, begitu yang orang kampungku bilang kalau warna
langit itu muncul setiap petang.
Bila
sore tiba, sekelebat burung yang entah apa namanya datang bergerombol dari arah
timur. Mereka melintasi gedung di sepanjang jalan raya. Gagakkah? Warnanya
hitam pekat, melekat pada batang tubuh burung itu. Heran? mereka selalu saja
rutin beterbangan tepat di pukul enam sore. Entah pertanda apa. Perasaanku tak
enak. Terutama saat waktu beranjak malam dan mulai berganti menjadi hari baru.
Apa
sore ini aku berkunjung saja ke kedai kopi milik Bang Rakai? Barangkali Ia mau
membayarku dengan setangkup roti dan susu panas seusai mengelap beberapa meja
yang berlepotan tumpahan kopi. Perut menggumamkan orkestra mini dan tak mau
lagi bekerjasama menahan lapar. Sudah tiga bulan terakhir, tak lagi ku tanyakan
kabar rumah. Padahal sudah dua minggu lebih aku tak memegang barang selembar
uang pun.
Aku
tak berani lagi meminta pada rumah. Semester yang tak lagi muda mengekangku
untuk jangan merengek menanyakan uang. Lusa lalu memang aku masih memegang
tabungan lima juta. Memang tak mudah mengumpulkan uang lewat kerja penulis freelance yang ku jalani rutin saban
subuh hari. Namun melihat Latif yang bergelimang darah dihantam sepeda motor
ketika menghantarkan terbitan majalah kampus ke rumah dinas rektor waktu itu,
hatiku limbung.
“Bagaimana
aku bisa membayarmu, Bang? Bagaimana dengan makanmu,” ratap Latif yang malah
berbalik kasihan padaku ketika baru saja terbangun dari jahitannya “Tenang saja, nanti ku kabarkan pada Mamak di kampung. Kalau sekadar makan,
aku masih ada, Bujang,” ujarku
menghiburnya. Padahal setengah mati aku mengucap istighfar karena harus berbohong dua kali. Lima juta jelas sudah
menjadi perhitunganku untuk biaya wisuda bulan depan. Menelepon rumah juga tak
mungkin ku lakukan. Tekadku sudah bulat untuk tidak menelepon sampai keputusan
wisuda terlaksana.
“Dari
kedai kopi Rakai lagi bang?”
“Iya,
Naf.”
Nafsih
menggelengkan kepala.
“Kenapa
tak menelepon ke rumah saja. Jujurlah pada Mamakmu
itu jika sudah tak ada lagi yang bisa dimakan.” Sudah puluhan kali Ia
mengatakan itu. Aku tahu jika Ia tak bermaksud buruk dengan mengatakan hal yang
sama macam minum obat.
Tapi
sudah kukatakan padanya “Aku tak ingin menyusahkan Mamak, sebagai anak pertama aku harus tahu diri.” Jawabku. Wardah
masih butuh biaya untuk pesantrennya. Belum lagi Karim yang masih butuh susu
formula karena ASI Mamak terkadang
kering dan tak berair lagi. Mahfum, karena sudah jarang sekali buah terbeli.
Ikan-ikan Lhoksumawe sepertinya enggan untuk mampir kala bulan purnama
bertengger ke di atas permukaan Samudera Hindia. Karenanya para nelayan harus
memutar otak sampai banting setir mencari tambahan lain.
“Jangan
menganggap menelepon Mamakmu hanya
karena perkara duit saja. Tak baik mendiamkan orang tua.”
“Nanti
saja, setelah Pak Munir menandatangani skripsiku, Naf. Aku hanya ingin langsung
memberi kabar gembira pada Mamak.”
Jawabku mantap. Nafsih membalikkan badan dan kembali menyetrika kemejanya.
“Terkadang banyak anak yang lupa pentingnya menanyakan kabar di rumah. Aku
takut kau terlambat menyadarinya.” Dadaku berdesir setelah Nafsih menyelesaikan
kalimatnya. Peringatan?
***
5 Tahun yang lalu
“Sudah
kau bawa tasbih Abah mu itu Nak?”
Aku
mengangguk pelan. Ada perasaan yang tak tergenggam saat Mamak memasukkan gulai kentang
teri yang telah dikeringkan.
“Jangan
lupa untuk selalu berkabar. Teleponlah Mamak
lewat nomor Uwakmu. Bila sibuk kuliah, kabari besoknya, atau lusa bila kau
sempat.”Wanita itu terus menyesakkan barang-barang ke dalam tas yang tak lagi
muat. Sekantong biji kopi pun terlihat begitu menderita di antara kitab-kitab
yang di jejal paksa ke dalamnya. Mamak tak
menatapku sama sekali. Tak ku hentikan pula tangan cekatan dari perempuan
berwajah lembut itu. Meski tak ada raut
kelam, matanya begitu kuyu menyatakan kesedihan.
“Minumlah
obat, kalau tak ada uang langsung hubungi Mamak,
sajadah sudah kau bawa? Jangan terlalu sering bergadang..”
“Mak,” aku tersenyum cerah. Hanya ini
yang bisa kulakukan saat ini. “Aku baik-baik saja, Mak. 4 tahun dari sekarang tunggulah aku membawa toga pulang. Apa
yang selalu Mamak ucap padaku saban
maghrib setiap kami mengaji? Aku akan jadi guru terbaik se-Lhoksumawe nanti.”
Tak ada lagi Mamak yang memasukkan
barang-barang ke dalam ranse; bawaanku. Perempuan itu telah mendekapku dengan
erat.
Ini
kali kedua Mamak memelukku seerat
ini. Pelukan pertama adalah saat aku menemukan Abah yang tersungkur di sebelah
sampan dengan tubuh beku sedingin es.
***
Jakarta,
24 Desember 2017
“Ceria
betul wajah kau, Bujang.”
“Ah,
Abang ini bisa saja,”jawabku sambil terus mengelap meja.
“Sudah
kau dapatkan tanda tangan si dosen angker itu itu?” Bang Rakai masih
menimpaliku dengan muka cengegesan.
“Minggu
depan aku sudah bisa memegang ijazah, Bang.”
“Mantap,”
Bang Rakai berlalu dan terhenti setengah jalan. “Sudah kau telepon orang rumah,
Bujang?”
Aku
tertegun sejenak. “Pulsaku habis Bang. Besok pagi ku telepon.” Dan sore pun
kembali seperti biasa. Langit sakit.
***
Jakarta,
26 Desember 2017
“Nomor
yang anda tuju sedang sibuk, silahkan hubungi lagi atau tinggalkan pesan.”
Telingaku
berdenging. Sejak jam 8 tadi ku hubungi no Uwak,
tapi tak sekalipun ada tanda-tanda akan diangkat.
“Pukul
7 pagi tadi bang. Habis Banda Aceh diterpa air bah!”
Jantungku
membuncah. Apa maksudnya? Mataku nanar mengikuti pengunjung kopi yang sudah
bersidekap di depan televisi. Lhoksumawe pun disebut-sebut berkali-kali.
Tanganku gemetar meraba-raba meja, mendekati televisi yang telah dikerubungi
orang-orang di kedai Bang Rakai. Seletingan-seletingan bangunan yang digulung
ombak puluhan meter terpampang di dalamnya.
Nafasku
sesak dan mataku pun kebas. Terus ku hubungi nomor Uwak. Namun kalimatnya tetap
sama. “Nomor yang anda tuju sedang
sibuk. .”
Tak ku dapat lagi kabar rumah dari
Mamak sejak saat itu.
*Penulis adalah Mahasiswa
Jurnalistik, Fidikom UIN Jakarta dan
Penulis buku cerpen “ Lelaki Setelah Hujan”