Oleh: Iranto*
Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus
kejahatan terorisme di Indonesia. Pembahasan publik terkait terorisme kian
memuncak. Kejadian ini pun menuai kontroversi dari banyak kalangan, baik itu
dari pengamat maupun masyarakat umum.
Anehnya, banyak masyarakat menganggap
latar belakang terjadinya tindakan terorisme akhir-akhir ini hanya dipengaruhi
oleh unsur ideologi agama Islam. Hal ini diyakini dapat berdampak buruk bagi
citra umat Islam mendatang.
Meminjam istilah Jalaludin Rakhmat, Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat komisi VIII, ia memiliki fokus yang berbeda dalam memandang terorisme. Menurut pandangannya, terorisme termasuk hasil cap media
barat yang tak lain hanyalah buatan
Negara Adikuasa. Benarkah demikian?
Islam dan Terorisme
Pada Senin (14/5) lalu misalnya, peristiwa
ini menjadi hari yang
tidak bisa dilupakan bagi pasangan suami istri, Arifin (47 tahun) dan Siti Rohaida (48
tahun). Pasutri warga Jalan Kapi Sraba 11, Pakis, Kabupaten Malang itu menjadi korban salah tangkap oleh
Tim Detasemen Khusus 88 Anti teror Polda Jawa Timur.
Kasus ini dinilai menjadi salah satu
kebobrokan pihak yang berwajib terhadap kaum muslimin. Hakikatnya, banyak kasus
radikal lainnya yang harus lebih diwaspadai, seperti yang pernah terjadi di
Papua beberapa waktu lalu. Kasus yang terjadi di Papua dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata
di Desa Kimbely dan Desa Banti, Mimika, Papua.
Anehnya, kasus di Papua tersebut hanya dicap sebagai kelompok bersenjata atau kelompok separatis. Sedangkan kasus
di Marawi, Filipina dicap sebagai teroris oleh Dunia Internasional. Padahal latar belakang kasusnya sama-sama ingin membuat negara baru atau ingin merdeka.
Merujuk kasus pembantaian muslim di Vietnam, kasus tersebut terjadi karena latar belakang pembersihan etnis. Padahal itu sudah jelas bisa dikatakan sebagai tindakan meneror bahkan sampai pada kata
pembantaian. Pelaku pembantaian
di Vietnam tidak dikatakan sebagai teroris melainkan ‘genosida’
atau pembersihan etnis.
Sedangkan, hakim di pengadilan paling tinggi di
Uni Eropa memutuskan kelompok Hamas
harus tetap berada dalam daftar hitam Uni Eropa. Mereka dicap sebagai organisasi terlarang karena memiliki misi untuk mengakhiri pendudukan
Israel di Palestina dan mendirikan sebuah negara Islam.
Sedangkan kasus pembantaian
di Vietnam tidak ada sama sekali kecaman lebih lanjut atau di bawah ke pengadilan paling
tinggi di Uni Eropa seperti yang dilakukan kepada Hamas.
Memaknai Terorisme
Mengapa mereka yang diluar Islam tidak disebut sebagai teroris? Pejuang
Hamas yang melawan Israel dicap sebagai teroris. Sedangkan mereka yang melakukan
pengeboman besar-besaran di Palestina tidak disebut sebagai teroris. Mengapa
demikian? Itulah manipulasi kata Jalaludin Rakhmat.
Akibatnya, masyarakat condong memandang timbulnya terorisme ini semata-mata di latarbelakangi oleh ideologi
agama. Padahal, jika ditafsirkan lebih mendalam makna terorisme, semuanya bisa dicap
sebagai terorisme. Namun tetap bergantung pada sudut pandang masing-masing individu. Yang
perlu diketahui juga, setiap negara pasti memiliki kamus tersendiri istilah yang pantas disematkan bagi pelaku tindak terorisme. Dalam konteks
ini, negara memiliki otoritas penuh dalam memaknai kasus terorisme.
Memaknai terorisme selayaknya harus berangkat dari definisi awal. Jangan sampai definisi
yang salah dijadikan sebagai referensi untuk menjustifikasi seseorang atau kelompok sebagai teroris. Terorisme hakikatnya tidak hanya berdasar atas apa yang terlihat oleh panca
indera. Bisa jadi ada campur tangan politik di dalamnya.
*penulis adalah mahasiswa Jurnalistik semester 2