Putusan Mahkamah Agung menolak
gugatan dari masyarakat atas kepemilikan tanah. Alhasil ganti rugi pun tak
mereka dapatkan.
Kisruh sengketa lahan warga di
Jalan Puri Intan Raya RT 04 RW 17 Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan telah
berlangsung lama dan menjadi polemik dengan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. UIN Jakarta sendiri telah membeli tanah di daerah
Kertamukti pada 1977 melalui Kementerian Agama (Kemenag).
Kemudian tanah tersebut diserahkan kepada
Yayasan Pembangunan Madrasah Islam Ihsan (YPMII) untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya. Namun pada 1981 tanah tersebut dihibahkan kepada warga oleh Wakil
ketua YPMII Syarief Sugirwo. Ia pun terjerat kasus tindak pidana korupsi karena
melakukan jual beli tanah hibah sejak 1979.
Menurut pihak UIN Jakarta, tanah
hibah yang diberikan oleh YPMII kepada masyarakat merupakan jenis jual beli
yang melanggar hukum. Dengan dalih hibah pengurus YPMII menjual tanah tersebut
dengan imbalan bahwa masyarakat harus membayar sumbangan pendidikan sebesar 1,5
juta rupiah. “Kemenag saat itu tidak boleh membeli tanah dari masyarakat secara
langsung maka diserahkanlah kepada pengurus YPMII untuk mengelolanya,” ungkap
Kepala Bagian (Kabag) Umum Encep Dimyati saat ditemui di ruangannya lantai dua.
Rabu (29/11).
Lebih lanjut, Encep mengatakan pada akhirnya terjadi perseteruan sengketa lahan
antara UIN Jakarta dan masyarakat lantaran saling mengaku berhak atas
kepemilikan tanah tersebut. Kisruh tersebut bermula antara Kemenag dengan YPMII.
Kasus ini pun berujung pada dipenjaranya para petinggi yayasan akibat tindak
kasus korupsi pada tahun 1990-an. “Alhasil tanah tersebut kembali diambil
alih oleh Kemenag dan dikembalikan wewenangnya pada UIN Jakarta,” kenangnya.
Pada 1994 masyarakat melakukan gugatan
kepada pengadilan dan sampai tingkatan ke Mahkamah Agung (MA). Alhasil gugatan
tersebut ditolak oleh MA. Kemudian MA pun mengeluarkan putusan bahwa lahan
tersebut harus segera dikosongkan dan masyarakat harus pindah dari tempat yang
mereka huni. “Seharusnya setelah terjadi putusan tersebut tanah sengketa harus
segera dieksekusi,” tutur Encep. Rabu (29/11).
Lanjut Encep, UIN Jakarta pun selalu
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena harus segera menyelesaikan
sengketa lahan. Pihak negara meminta ganti rugi dengan besaran biaya per ukuran
satu meter sebesar 5 juta. Apalagi jumlah tanah sengketa mencapai 300 meter
persegi. “Kita pun kebingungan untuk mendapatkan uang sebesar itu, kalau
dikalikan itu mencapai 1,5 miliyar,’’ cetusnya. Rabu (29/11).
Namun hal ini berbeda penuturan dari salah
seorang warga yang tergugat eksekusi pembebasan lahan bernama Masniar Tanjung.
Ia mengaku telah menempati tempat tersebut selama 36 tahun. Ia pun mengatakan
jika keluarganya telah mempunyai hak atas kepemilikan tanah tersebut. Pasalnya
setiap bulan Ia selalu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Pajaknya yang
saya bayarkan sekitar 700 ribu per tahun,” keluh Mantan Staf Bagian Akademik
Fakultas Ushuluddin, Kamis (30/11).
Saat itu
Masniar mendapatkan surat tanah hibah dari YPMII. Tanah itu pun diberikan
kepadanya lantaran jasa pengabdiannya yang telah bekerja di UIN Jakarta selama
28 tahun. “Dulu sempat mau diberikan rumah daerah komplek dosen, namun sudah
penuh. Akhirnya dicarikan lagi tanah di daerah Kertamukti. Tanah itu pun dikelola
oleh YPMII,” tuturnya, Kamis (30/11).
Lebih lanjut
Masniar pun telah meminta bantuan kepada Layanan Bantuan Hukum (LBH) yang
berada di Jakarta terkait permasalahan ini. Hasilnya LBH mengusulkan agar
masalah tersebut didiskusikan kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia
(HAM). Menurutnya Komnas HAM telah
memberikan surat kepada Rektor UIN Jakarta. Isi surat himbauan tersebut untuk menunda
eksekusi pembebasan lahan.
Namun pihak
UIN Jakarta membantah telah menerima surat edaran tersebut. Melalui Kuasa Hukum UIN Jakarta Hilman Fidyansah
mengungkapkan surat himbauan dari Komnas HAM tersebut bukan merupakan surat
resmi. Dengan dalih Ia mengatakan Komnas HAM tidak akan mengabaikan kepentingan
orang banyak hanya untuk segelintir orang. Apalagi sebelumnya tidak ada
perundingan tentang masalah ini antara UIN Jakarta dan Komnas HAM.
Alhasil pembebasan
lahan pun tetap dilaksanakan oleh UIN Jakarta tanpa memedulikan surat himbauan
dari Komnas HAM. Pembebasan lahan tersebut bertujuan untuk pengembangan
pendidikan sarana dan prasarana. Lebih lanjut peminat calon mahasiswa UIN
Jakarta setiap tahun meningkat. “Untuk dapat menampung mahasisa nantinya
diperlukan pembangunan infrastruktur UIN Jakarta yang lebih baik,” ujar Hilman
ketika ditemui di ruangan rapat Kabag Umum, Kamis (30/11).
Jumri, Muhammad Rifqi Ibnu Masy, dan Hidayat
Salam
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Institut Edisi November 2017