Mahasiswa
sebagai agen kontrol sosial memiliki peran penting dalam upaya pencegahan
radikalisme dan ekstrimisme. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam
menolak segala paham radikal baik di kalangan pemuda maupun di lingkungan
sekitarnya.
Selain
itu, sebagai intelektual muda, mahasiswa harus mampu berpikir kritis saat
dihadapkan dengan pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan kehidupan
ketatanegaraan. Berkembangnya teknologi dan informasi semakin memudahkan para
kelompok radikal dalam menjaring massa dengan pelbagai cara terutama di media
sosial.
Hal
itulah yang melatarbelakangi Dialog Kebangsaan yang dilaksanakan oleh Dewan
Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta di Aula Student Center bekerja sama dengan
Serve Indonesia, pejabat organisasi ekstra kampus, serta Polisi Resor (Polres)
Tangerang Selatan. Dialog ini mengusung tema “Jihad melawan paham radikalisme
di dunia kampus”.
Dalam
dialog tersebut, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa, Adi Raharjo mengatakan
kampus adalah bibit untuk menyebarnya paham radikal. Dilihat dari perkembangan
kampus saat ini, semua paham bisa masuk tanpa adanya penyaringan yang lebih
ketat terhadap perkembangan ini. “Apalagi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang terkenal dengan paham radikalnya sejak dahulu,”
ungkap Adi.
Perwakilan
Polres Tangerang Selatan, Wahyu Santoro Saharon mengungkapkan pelaku bom
dilakukan oleh seorang anak yang berumur 17 tahun. Oleh karena itu, Polres
mengajak mahasiswa untuk menangkal paham radikal. Pihak kepolisian membutuhkan
mahasiswa untuk membantu dalam mencegah radikalisme. “Mahasiswa bisa melaporkan
ketika ada temannya yang mencurigakan ke polisi.” tambah Wahyu.
Heri
Muslin salah satu penggiat organisasi ekstra juga mengatakan hal serupa, bahwa
paham radikal mudah terjadi di kampus karena sudah mengakar di dalamnya.
Mahasiswa beranggapan selain kuliah, ia menemukan hal-hal baru di kampus. “Hal
baru inilah yang menjadi akar permasalahan masuknya paham radikal,” ujar Heri,
Selasa (15/5).
Heri
menambahkan bahwa organisasi ekstra pun semakin terpinggirkan oleh kampus
karena kajian asing tidak bisa disaring oleh mahasiswa itu sendiri. Akibatnya
banyak yang terjerumus dalam paham radikal. “Sebanyak 39 % mahasiswa menurut
penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tertarik paham radikalisme, angka
ini tergolong cukup banyak,” tambah Heri.
Di
akhir dialog ini Dewirini Anggraini sebagai pembicara dari Serve Indonesia juga
mempertontonkan film dokumenter yang berisi pengakuan dari para ibu dari pelaku
terorisme. Di film itu para ibu dari pelaku terorisme mengaku bahwa ia telah
gagal mendidik anak-anaknya sehingga terjaring dalam kelompok terorisme. Anak
yang menjadi pelaku teror masih umur 17 tahun dan menganggap ibunya hanyalah
wanita biasa yang tidak tahu apapun. Air mata peserta tak terbendung ketika menyaksikan film
ini.
Mahasiswa
harus paham makna radikalisme untuk mengetahui perannya. Salah satu peserta
dari Sistem Informasi, Ayu Permata sari mengatakan peran mahasiswa dalam
berjihad melawan radikalisme dengan melakukan perkumpulan sosial serta pola pikir
mahasiswa harus cerdas dalam menangkap berita. “Radikalisme bisa dicegah dengan
cara melakukan forum diskusi antar teman kampus atau organisasi,” ujar Ayu.
Peserta
lain dari Hubungan Internasional Annisa Fathia Hanna mengatakan sebagai
generasi millennial, mahasiswa memiliki
peranan besar dalam upaya penangkalan radikalisme. Jika hari ini kelompok
radikal memiliki konten propaganda setiap harinya, maka mahasiswa harus
memerangi konten tersebut. “Caranya dengan membuat konten kontra propaganda
yang lebih banyak dan masif lagi,” ungkap Annisa, Selasa (15/5).
Dialog ini diselenggarakan di Aula Student
Center pada Selasa, 15 Mei 2018 dalam rangka jihad mahasiswa untuk melawan
paham radikalisme di dunia kampus. Wakil Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta juga membacakan pernyataan sikap terhadap tindakan
terorisme.
RH