Oleh: Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram
Indonesia merupakan salah satu lahan penjualan rokok terbesar di dunia.
Dilansir dari Tempo.co, World Health Organization telah
menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga dunia setelah Cina
dan India. Lebih dari sepertiga, tepatnya 36,3 persen, penduduk Indonesia saat
ini perokok.
Hampir di mana pun berada, kita dapat melihat perokok. Di jalanan, angkutan
kota, lingkungan rumah, bahkan di sekitar lingkungan belajar-mengajar seperti
sekolah dan kampus pun tak luput dari perokok. Sifatnya pun berbeda-beda. Ada
yang tahu diri memperhatikan orang di sekitarnya, ada pula yang tak acuh sama
sekali.
Teringat ketika beberapa mahasiswa duduk di lantai dasar Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sore itu. Sebagian dari mereka
mengeluarkan sebatang rokok dan membakar ujungnya menggunakan pemantik. Rokok
itu dihisapnya, kemudian asap terembus dari mulut-mulut mereka. Mahasiswa yang
tidak merokok berpindah posisi duduk menjadi berlawanan dengan arah embus asap.
Melihat gerak-gerik itu, para perokok pun segera bergeser menjauh.
Bukan hanya di lantai dasar fakultas, di gedung Student Center UIN
Jakarta bahkan lebih banyak lagi yang merokok. Sebenarnya, bolehkah merokok di
dalam kampus? Apa ada aturan yang melarangnya? Belum lama, dipasanglah spanduk
besar bertuliskan kawasan dilarang merokok di lantai dasar beberapa
fakultas.
Dalam spanduk tersebut, kawasan dilarang merokok diatur berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan. Pada Pasal 22 tertulis, salah satu kawasan tanpa rokok adalah
tempat yang secara spesifik sebagai proses belajar-mengajar.
Di lingkup UIN Jakarta, larangan merokok ditegaskan dalam Surat Keputusan
Rektor UIN Jakarta Nomor 469 Tahun 2016 Tentang Kode Etik Mahasiwa. Tertulis
pada Pasal 5, merokok di gedung dalam kampus termasuk bentuk pelanggaran kode
etik. Akan tetapi, permasalahan rokok ini seakan menjadi hal sepele karena
tidak adanya tindak tegas dari pihak kampus sendiri. Bahkan, tidak hanya
mahasiswa yang merokok, tetapi juga para dosen dan staf. Pemasangan spanduk
seolah menjadi formalitas dari aturan perundang-undangan saja.
Klise memang kalau membicarakan soal rokok dan kampus, seakan tak ada
ujungnya. Pada kenyataannya, rokok di dalam kampus memang seperti larangan yang
terlalu lazim untuk dilanggar tanpa ada dampak yang baik bagi lingkungan maupun
perokok itu sendiri.
Rokok mempunyai dampak buruk bagi kesahatan, baik perokok aktif maupun
pasif. Seperti pada slogan rokok terdahulu, ‘Merokok dapat menyebabkan kanker,
serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin’. Malah, beberapa
tahun lalu, slogan rokok berubah menjadi ‘Merokok membunuhmu’. Bungkusnya pun
bergambar penyakit-penyakit menyeramkan akibat rokok. Tak hanya itu, dampak
rokok bagi lingkungan pun tidak kalah mengerikannya.
Dilansir dari Doktersehat.com, fakta ini diungkapkan oleh salah satu
tim peneliti dari Tobacco Control Unit of Italy’s National Cancer Institute. Tingkat
polusi udara yang disebabkan tiga rokok filter hampir 10 kali lebih besar
daripada mesin diesel yang berkapasitas 2 liter bahan bakar solar bersulfur
rendah.
Maka dari itu, di sinilah pentingnya peran pihak kampus untuk ikut membantu
pemerintah dalam mengendalikan jumlah perokok di Indonesia. Alangkah baiknya
jika ada tindak tegas bagi pelanggar aturan rokok di dalam kampus. Saling
menegur ketika ada yang merokok juga dapat menjadi langkah kecil yang sangat
membantu. Memang, para perokok mengaku sulit untuk tidak merokok bahkan sekadar
saat hanya di dalam kampus. Namun, mari kita berusaha bersama agar kampus
tercinta kita ini menjadi kampus yang terbebas dari asap rokok.