Reformasi sudah berlalu dua dekade. Kala itu --saat
rezim Soeharto masih memimpin-- Soeharto lebih memprioritaskan pembangunan
fisik yang membutuhkan stabilitas sosial, politik, dan keamanan. Menjaga
stabilitas negara membutuhkan sistem kontrol yang baik. Imbasnya, kebebasan
berekspresi pun dibatasi.
Memasuki masa demokratisasi, kebebasan berekspresi mulai
gencar disuarakan oleh pelbagai kalangan. Hal ini mendorong semangat generasi
muda untuk menciptakan produk kreatif dan terobosan baru untuk mengatasi
rintangan sistem kenegaraan. Generasi muda mengemban amanat yang besar untuk
mewujudkan cita-cita negara, sesuai harapan penggerak reformasi masa itu.
Iklim demokrasi membawa nafas baru bagi generasi muda
untuk terus melakukan inovasi dan berkontribusi nyata terhadap negara. Salah
satunya Pegiat Pendidikan Rosa Dahlia mengatakan, sudah lima tahun lamanya ia
mengajar di Papua. Sejak 2013, ia mengabdi di pedalaman Papua. Wanita yang
akrab dipanggil Rosa ini terinspirasi untuk mengajar di Papua setelah membaca buku “Sokola
Rimba” karangan Butet Manurung.
Rosa mengaku pernah
mendapat tawaran mengajar di kota, namun perempuan asal Magelang itu menolak. Ia
lebih memilih untuk mengajar dan mengabdikan dirinya di pedalaman Papua. Banyak
rintangan yang dirasakan Rosa saat mengabdi di Papua, seperti terserang
penyakit Malaria dan diberhentikan dari yayasan yang menaunginya. Namun, Rosa
tetap tegar dengan komitmennya untuk mengabdi.
Rosa berharap
anak-anak muda bisa memanfaatkan kebebasan berekspresi yang mulai digalakkan
pasca reformasi. Menurutnya, kaum muda harus bisa membuat sesuatu sesuai bakat
yang dimiliki. “Tidak harus sesuatu yang besar, yang terpenting punya
komitmen,” ujarnya, Selasa (8/5).
Senada dengan Rosa, Alumni Universitas Paramadina Ainur Hidayat,
juga berkarya di ranah pendidikan. Sejak 2016 lalu, lelaki yang akrab dipanggil
Ai ini menjabat sebagai Ketua Yayasan Sekolah Multikultural di Pangandaran,
Jawa Barat. Sekolah yang dibentuknya pada 2016 lalu memiliki program sekolah
gratis yang mempertemukan anak-anak dari pelbagai daerah. Melalui sekolah ini,
Ai berharap dapat menumbuhkan rasa toleransi dan perdamaian.
Ai mengatakan, ada satu ide yang harus diperjuangkan
dalam jagat pendidikan. Menanamkan benih-benih kritisisme. Menurutnya, sistem pendidikan
sekarang terkesan kuno. Hal ini karena program kementerian yang membuat sekat
pada pola pikir siswa, sehingga siswa tidak dapat berpikir kritis. “Saya paling
tidak suka ada sekolah yang membentengi secara simbolik siswa-siswa di sekolah
untuk tidak bebas,” ucap Ai saat ditemui usai Diskusi 20 Tahun Reformasi,
Selasa (8/5).
Berbeda dengan Rosa dan Ai, Leonika Sari Njoto
Boedioetomo berhasil membuat inovasi di bidang kesehatan. Demi melancarkan
program donor darah, perempuan berdarah Surabaya ini membuat aplikasi dan website
bernama Reblood. Leo, begitu panggilannya, telah mendirikan Reblood sejak 2015.
Leo mengatakan, selama ini Indonesia kekurangan stok
darah --minimal satu juta kantong darah-- dalam setiap tahunnya. Menurutnya, banyak
orang ingin mendonorkan darah. Namun, banyak yang tidak tahu di mana dan kapan
bisa mendonorkannya. Reblood di sini hadir untuk membantu masyarakat untuk mengakses
informasi terkait donor darah dengan lebih mudah melalui aplikasi dan website
yang ia buat.
Selain itu, Leo juga mengajak anak-anak muda untuk mendonorkan
darahnya. Menurutnya, orang bisa hidup sehat dengan donor darah. Namun ia
menyayangkan, pendonor darah dari kalangan anak muda masih sedikit. Khususnya
wilayah Jakarta. “Di Jakarta, yang mendonorkan darah biasanya berumur 40 tahun
ke atas. Sedangkan anak mudanya hanya 30 persen saja,” kata alumni Institut
Teknologi Sepuluh November itu saat berdiskusi di Gedung Nusantara IV, Komplek
Parlemen, Senayan, Selasa (8/5).
Salah seorang pengunjung Thalitha Avifah Yuristiana
menyatakan, anak muda pasca reformasi punya sisi positif dan negatif. Positifnya,
banyak generasi muda yang peduli lingkungan. “Di sisi lain, era digital juga
menanamkan sikap apatis pada generasi muda,” tutur Thalitha yang juga
Mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Selasa (8/5).
Diskusi ini diselenggarakan oleh Tempo Media Group yang
bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pertingatan 20
Tahun Reformasi mengusung tema “Kembali
ke Rumah Rakyat.” Tak hanya diskusi, rangkaian acara ini juga diisi
pameran foto dan pembacaan puisi dari para tokoh ternama yang telah berlangsung
dari tanggal 7 sampai 21 Mei 2018 di Gedung Nusantara IV dan V, Komplek
Parlemen, Senayan, Jakarta.
N