Puluhan
Wayang Potehi memenuhi tembok yang didominasi warna putih. Ornamen lampion merah
menyala bergelantungan di langit-langit ruangan. Sorot lampu pijar seakan
menghidupkan suasana menjadi syahdu. Ditambah dengan alunan musik khas negeri
tirai bambu mampu menghanyutkan pengunjung ke masa kerajaan Tiongkok kala
memasuki ruang pameran.
Beberapa
etalase mengisi tiap sudut ruangan pameran. Etalase tersebut berisikan berbagai
macam kerajinan tangan yang berasal dari kayu seperti halnya wayang hingga
senjata perang. Selain itu, ada pula manik-manik serta alat musik tradisional
Tiongkok misalnya erhu, yana, terompet, siolo, tambur, dan piak-kou.
Sisi
kanan ruang pameran terdapat sebuah miniatur kelenteng sebagai panggung
pertunjukkan Wayang Potehi. Lengkap dengan atap, jendela dan pintu dengan warna
khas Tiongkok, merah. Warna hitam mendominasi panggung tersebut. Ditambah
ornamen ukiran berwarna emas dan kain merah bergambar bunga yang menjuntai
didepan panggung. Di kedua sisi panggung berdiri kokoh gambar tokoh Wayang
Potehi.
Wayang
yang berasal dari Tiongkok ini mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Wayang
ini terbuat dari kayu yang diukir, kemudian dicat menggunakan cat minyak. Lalu
dibalut kain menyerupai busana kerajaan Tiongkok. Aksesoris tambahan seperti
hiasan kepala dan senjata perang pun disematkan guna membuat wayang berkesan
nyata.
Konon,
adanya Wayang Potehi berawal dari lima terpidana mati asal Tiongkok yang
berusaha menghibur diri jelang eksekusi mati. Salah satu dari mereka kemudian membuat
boneka dari bahan kain (poo), kantung (tay), dan kayu (hie). Mereka pun
memainkan boneka tersebut menggunakan alat musik sederhana dari wajan, piring
hingga panci. Hingga akhirnya karya mereka pun diketahui Kaisar. Kemudian, Kaisar
mengundang para terpidana untuk memainkan Wayang Potehi di hadapannya. Tak
disangka, Kaisar terpana atas pertunjukan Wayang Potehi. Sejak saat itu, Wayang
Potehi berkembang di Tiongkok.
Sempat
mati suri pada masa Orde Baru dalam seni pertunjukkan di Indonesia, Wayang Potehi
kembali eksis di kalangan masyarakat. Awal perkembangan pertunjukan Wayang
Potehi menggunakan bahasa Mandarin. Namun saat ini beberapa daerah di
Indonesia, menggunakan bahasa daerah ketika melakukan pertunjukan.
Pameran
bertajuk Waktu Hidupkan Kembali Potehi
yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada 4-12 Mei lalu, sebagai
upaya pengenalan kembali budaya kesenian Wayang Potehi. Selain itu, juga
sebagai bentuk apresiasi atas karya Toni Suharsono karena telah menghidupkan kembali
Wayang Potehi di tengah-tengah arus globalisasi.
Menurut
salah satu panitia penyelenggara pameran, Sonny Gunawan, Indonesia menjadi
salah satu negara yang masih kental dengan budaya Wayang Potehi. Sayangnya
dibeberapa negara, Wayang Potehi telah hilang tergerus perkembangan zaman. “Wayang
Potehi termasuk budaya Indonesia yang harus dilestarikan,” ujarnya saat
dihubungi via whatsapp, Jumat (11/5).
Salah
satu pengunjung, mahasiswi Universitas MH Thamrin, Elsya Maulidia mengaku antusias untuk menyaksikan pameran ini.
Menurutnya, pameran ini menambah pengetahuan tentang ragam kesenian dan kebudayaan
Indonesia. “Selain barongsai dan liong, ternyata masih ada budaya asimilasi
lainnya, yakni Wayang Potehi,” ungkapnya, Jumat (11/5).
RD