Judul : Jurnalisme Kosmopolitan
Pengarang : Janeet Steele
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun
terbit : 2018
Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, media di Indonesia dan
Malaysia mengalami islamisasi yang signifikan. Agama dijadikan identitas media
hingga pangsa pasar yang menggiurkan.
Meskipun
prinsip-prinsip jurnalisme—kebenaran, verifikasi, keseimbangan, dan kemandirian dari kekuasaan—bisa dibilang universal, di
beberapa media prinsip itu ditafsirkan
melalui prisma budaya lokal negara tempat media
mengudara. Seperti lima organisasi berita di Indonesia dan Malaysia menyarankan
berbagai pendekatan untuk memahami hubungan antara jurnalisme dan Islam.
Sebagai
contoh para penulis di Majalah Sabili—1984 sampai 2013—mereka
dipekerjakan atas kemampuan mereka berdakwah. Mereka percaya bahwa jalan keluar
dari penyakit-penyakit masyarakat modern terletak dari penerapan syariat Islam.
Juga Republika, sebuah koran Indonesia yang didirikan untuk melayani
komunitas Muslim.
Sabili
merupakan media yang pertama kali menerbitkan tulisannya pada 1984 dan gulung
tikar April 2013. Jenis Islam yang dipresentasikannya disebut skripturalis,
literalis bahkan fundamentalis. Politcik Majalah Sabili dapat
digambarkan secara beragam, sensasional, provokatif dan cenderung menawarkan
teori konspirasi pendukung Perang Salib dan Zionis. (hal. 38)
Seperti
pada Mei 2002, sampul depan Sabili menampilkan gambar bangunan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan tajuk utama “IAIN:
Ingkar Allah, Ingkar Nabi.” Juga menuduh kelompok studi di IAIN seperti Forum
Mahasiswa Ciputat (Formaci) mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat,
mendukung pernikahan orang beda agama, dan mengabaikan perintah agama untuk
mengajak pada kebaikan dan melarang perbuatan jahat.
Hal
tersebut membuat pihak IAIN Syarif Hidayatullah bereaksi. Rektor periode 1998-2006
Azyumardi Azra datang menemui seorang pemilik Sabili Rahmat Ismail untuk
meminta klarifikasi. Lalu Azra juga bertanya apakah Majalah Sabili sengaja
menyebutnya murtad?. “Rahmat meminta maaf dan memohon ampun.” Azra pun
memberikan nasihat “Tahan dirilah dari perbuatan menjelek-jelekkan orang lain.”
Janet
Steele menilai, contoh kasus tersebut mengisyaratkan bahwa berita di Sabili
sama sekali tidak berimbang. Menanggapi hal tersebut, Pemimpin Redaksi terakhir
Sabili Eman Mulyatman berpendapat bahwa media lain juga melakukan hal
yang sama “Mereka juga berpihak.” Tempo berpihak dan Sabili tentu
punya misi sendiri. Visi dan misinya adalah kebijakan editorial. (hal. 68)
Lain
hal dengan Malaysiakini. Salah satu media Malaysia ini lebih mempresentasikan
Islam dalam konteks sekuler, meski mereka menolaknya. Juga menolak disebut
islami, bahkan editor Malaysiakini selalu menjaga agar diskusi tentang
agama berada di luar ruang redaksi.
Berita
yang disajikan oleh Malaysiakini bersifat multi etnis, ras, dan agama.
Mereka menolak membicarakan agama dalam konteks laporan-laporannya. Wajar jika
reporter di Malaysiakini tetap akan diminta menulis topik-topik
kemurtadan agama tertentu meski hal itu membuatnya gelisah, lantaran akan tidak
disukai oleh pembacanya yang masih terkait dengan agama yang ditulis.
Malaysiakini
selalu menyoroti politisasi Islam di
Malaysia dalam segala laporan-laporannya. Mantan editor Malaysiakini berkata
“Ada islamisasi dalam segala hal. Fokus kami selalu dianggap cenderung anti-pemerintah,
tetapi sebenarnya juga anti-islamisasi. Dan orang Melayu di Malaysiakini
adalah Melayu liberal.”
Namun,
beberapa reporter Malaysiakini menyatakan seorang Islam yang konservatif
dan menganggap bahwa Agama selalu melatarbelakangi pemikirannya. Meskipun di Malaysiakini
Ia tetap bekerja dengan sensor yang ketat dan tetap melaporkan berita dengan
fakta-fakta yang seharusnya.
Demikian
ulasan dan fakta yang disajikan Janet Steele dalam buku laporannya Jurnalisme
Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara. Buku ini hasil penelitiannya di Indonesia dan Malaysia kurun
20 tahun. Penelitian ini menggunakan wawancara dan pengamatan
partisipan di lima penerbitan yang mewakili hubungan yang berbeda antara
jurnalisme dan Islam.
Buku
penelitian ini tetap enak dibaca. Akan tetapi, karena buku ilmiah laporan
penelitian jadi penyusunan bahasa perlu dipahami ulang.
Nuraini
Nuraini