Perjuangan Kartini berdampak besar kepada seluruh wanita
Indonesia saat ini, termasuk lima perupa wanita yang berpesan melalui
karya-karya seninya. Pengunjung diajak untuk bercermin di mata perempuan dengan
melihat lukisan-lukisan yang ada.
Ruangan berbentuk persegi panjang dan berdinding warna putih menjadi tempat
lukisan-lukisan karya para perupa dipajang. Beberapa seni rupa tiga dimensi
digantung di langit-langit ruangan, sedangkan sebagian lainnya disusun di atas
rak sederhana. Karya-karya yang dipamerkan dihujani cahaya lampu berwarna
kuning kejinggaan sehingga menambah kesan vintage.
“Kau boleh menginjak-injak aku di comberan. Namun, bagai
debu, aku akan bangkit. Kau boleh membunuhku dengan kebencian. Namun, bagai
udara, aku akan bangkit”. Itulah penggalan dari sebuah puisi karya Maya
Angelou, “Still I Rise”, yang terpampang di depan pintu masuk ruang pameran
Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penggalan puisi yang diterjemahkan ke bahasa
Indonesia itu menyambut pengunjung sebelum mereka disuguhkan oleh
lukisan-lukisan para perupa yang memanjakan mata.
Jika kebanyakan perupa adalah seorang pria, maka pameran
ini berbeda adanya. Goresan-goresan cat di atas kanvas ini adalah karya para
perupa wanita. Mereka adalah Trinawangwulan, Dyan Anggraini, Ria Andaryanti,
Aishah Abdul Latif, dan Hartina Ajir.
Kelima perupa tersebut merupakan lulusan Sekolah Tinggi
Seni Rupa Inonesia “ASRI” Yogyakarta (sekarang Institut Seni Indonesia Yogyakarta).
Mereka mengajukan hasil karya mereka untuk dipamerkan di BBJ. “Kita memamerkan
karya kami untuk sekalian reunian saja,” ujar Trinawangwulan atau akrab
dipanggil Wawang, Selasa (24/4).
Pameran dengan tema “Bercermin di Mata Perempuan” ini
dibuka bertepatan dengan Hari Kartini. Dari pameran seni rupa yang bertema khas
dengan “Kartini” ini, para perupa menyampaikan pesan bahwa perempuan juga mampu
bersaing di pelbagai sektor tanpa batasan gender, khususnya di sektor seni.
Empat dari beberapa lukisan yang dipamerkan merupakan
karya terbaru Wawang yang dibuat pada tahun 2018. Lukisan semi abstrak tersebut
dibuat oleh Wawang memakai acrylic campur cat minyak. Ia mulanya ingin lukisan
tersebut dibuat dengan warna hitam putih, tetapi menurutnya akan menjadi kurang
menarik. “Akhirnya, saya pakai warna cokelat dengan nuansa sepia seperti
foto-foto kuno,” jelas Wawang mengenai lukisannya yang dipamerkan.
Menurut salah satu pengunjung pameran, Ani, lukisan Dyan
Anggraini dan Trinawangwulan-lah yang paling berkesan baginya. Lukisan karya
Dyan menampilkan getirnya kehidupan seorang perempuan. “Kita dapat melihat masalah
yang dihadapi perempuan terasa sangat kelam,” ungkap seorang wanita yang sedang
mengikuti program belajar seni rupa kontemporer tersebut, Selasa (24/4).
Tidak hanya masyarakat umum yang mengunjungi pameran seni
rupa ini, nampak mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bersama
istrinya, Sri Hartati, juga berkunjung untuk turut mengapresiasi pameran yang
sedang dilaksakan di BBJ ini. “Pameran seperti ini harus terus dilakukan untuk
Indonesia agar penduduknya berwawasan lebih terbuka,” komentar Fauzi Bowo
ketika berbincang dengan salah satu kru dari Kompas ID, Selasa (24/4).
Namun, hal yang sangat disayangkan adalah sepinya
pengunjung yang datang. Tidak hanya pada pameran seni rupa ini, sepinya
pengunjung seakan merupakan hal lumrah yang terjadi di pameran-pameran seni
mana pun. Hal itu terjadi karena kurangnya wawasan masyarakat mengenai seni. Padahal,
seperti apa yang dikatakan Fauzi Bowo, pameran itu sendirilah yang dapat
menambah wawasan kita terhadap banyak hal, khususnya di bidang seni.
MSSD