Harus dibuang
ke tanah pengasingan lantaran memberontak penjajah bukanlah suatu aib. Dibenci
hingga ditinggalkan orang tercinta juga harus diterima.
Pada
tahun 1918, Pandu merupakan orang biasa yang tinggal di Madiun. Ia pekerja magang
di salah satu kantor wedana —kabupaten— dan tidak digaji sepeserpun.
Walaupun ia tidak memiliki tahta, namun mempunyai pikiran maju.
Tahun
1921, Pandu diangkat menjadi menantu oleh seorang juru tulis kantor asisten wedana.
Namun, sebelumnya ayah Pandu keberatan menerima permintaan sang juru tulis,
mengingat anaknya belum mempunyai mata pencaharian. Akan tetapi, sang juru
tulis mengiming-imingi sawah apabila Pandu mau menikahi anaknya. Terpaksa Pandu
pun menerima tawaran tersebut.
Ia
tak memikirkan perkawinan yang telah dilangsungkan merupakan jenis perkawinan
adat atau paksa. Ia hanya bangga karena telah berkeluarga seperti kawan-kawan
sebayanya yang lain.
Sebulan
setelah pernikahan, rumah orang tua Pandu kedatangan tamu dari Sarikat Islam Semarang.
Kedatangan tamu tersebut tak lain ingin membahas propaganda Sarikat Islam di
Semarang. Di saat bersamaan, ayah Pandu menyarankan berkenalan dengan mereka sekaligus
memperkenalkan asas-asas partainya.
Sampai
akhirnya, Pandu pun ikut partisipasi dalam partai tersebut. Akan tetapi, hal
itu diketahui oleh sang juru tulis yang tak lain mertua Pandu. Nahas, ketika
mertuanya menyarankan agar Pandu keluar dari partai tersebut, Pandu menolaknya.
Saat itulah, Pandu dipecat dari pekerjaannya dan diusir mertuanya.
Pandu
pun sedih, bukan karena dipecat atau diusir oleh mertuanya, melainkan tidak
bisa menemui istrinya. Di tahun 1922, Pandu merantau ke Semarang untuk
menghilangkan ingatan akan istrinya. Tak hanya itu, Pandu turut mengikuti propaganda Partai
Semarang di Jawa Tengah.
Setahun berselang nama
Pandu sudah tidak asing lagi dalam pergerakan itu. Pergerakannya terdiri dari
berbagai elemen masyarakat, tua, muda, pria, dan wanita baik yang sudah bersuami
atau masih gadis. Dalam propagandanya bersama Partai Semarang, Pandu pun
dipertemukan dengan seorang gadis bernama Zus Emi yang kemudian menjadi
tambatan hatinya yang baru.
Zus
Emi melihat Pandu sebagai sosok pejuang yang peduli akan rakyat kecil. Begitu
pun Pandu melihat Zus Emi, sebagai sosok perempuan yang mengebu-gebu
memperjuangkan nasib kaum papa. Selama menyuarakan perjuangannya beberapa kali
Pandu keluar masuk penjara. Takut
kehilangan Zus Emi, lantaran sering tak berada di sampingnya, Pandu pun
menikahinya dengan disaksikan rekan-rekan seperjuangan.
Tahun
1926, pergerakan partai Semarang semakin terlihat di Betawi dan Batam.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap
pemberontakan partai tersebut sangat berbahaya. Hingga akhirnya Pandu ditangkap dan
harus diasingkan ke Boven Digul. Sang istri ingin mengikuti Pandu, namun batal
lantaran orang disekitarnya menghasut Pandu sebagai seorang pemberontak,
pencuri, pembunuh lantaran harus diasingkan.
Pandu
harus menjalani pengasingan ke Digul tanpa ditemani istri. Bahkan, Zus Emi
menikah lagi dengan seorang politikus di Betawi. Hati Pandu pun kecewa
sejadi-jadinya lantaran wanita yang ia cintai berhianat, sejak saat itu Pandu
bersumpah membenci perempuan. Perempuan, apa gunanya dilahirkan di atas dunia ?
Cuma menyakitkan hati! (hal.110)
Demikianlah cuplikan salah satu cerita karya
Abdoe’l xarim M.s. dalam buku Cerita dari Digul, yang disunting oleh Pramoedya
Ananta Toer. Buku setebal 319 halaman ini merupakan kumpulan tulisan karya eks
Digulis yang dulu juga pernah diterbitkan dulu.
Kumpulan cerita tentang Digul ini cukup memberi
wawasan tentang orang buangan pada masa kolonial. Buku ini dapat dijadikan pelengkap bagi siapa saja yang meneliti
atau meminati sejarah tentang Digul. Namun bahasa yang digunakan belum sesuai
aturan baku saat ini, sehinga pembaca pemula akan kesulitan memahaminya.