Oleh: Alfarisi
Maulana
Kebanjiran informasi membuat perkara benar dan palsu sulit
dibedakan. Dalam realita, informasi palsu atau biasa disebut hoax
menjadi masalah utama di pelbagai negara demokrasi. Parahnya lagi, informasi hoax
sangat mudah tersebar luas dalam hitungan detik dan menit. Di Indonesia masalah
ini sangat akut karena hoax menjadi senjata ampuh propaganda politik
berbalut isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Informasi hoax berkonten SARA dimanfaatkan untuk memengaruhi
opini publik dalam kepentingan politik. Dalam sebuah survei yang dikeluarkan
oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 13 Februari 2017 tentang Wabah Hoax Nasional menyatakan,
sebanyak 91,8 persen responden mengaku menerima konten hoax tentang
sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan.
Tak hanya itu, isu SARA pun terpaut di posisi kedua dengan angka
88,6 persen. Komposisi isu politik dan SARA lazim dikaitkan antara satu dengan
lainnya. Pelbagai Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden
adalah berbentuk teks sebanyak 62,1 persen. Kemudian bentuk gambar sebanyak
37,5 persen lalu video 0,4 persen.
Informasi yang disebarkan tak lagi faktual. Survei yang dikeluarkan
Mastel ini laiknya notulen dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI
Jakarta pada 2017 lalu. Arena pertarungan media sosial dengan segala informasi hoax
bertebaran secara brutal. Wajar saja, bagi banyak partai politik momen ini
adalah “start” menuju bursa presiden 2019.
Penyakit Akut
Era media sosial membuat orang gemar menyebar informasi hoax. Fakta
di lapangan, ketika melihat judul tulisan, tanpa membaca isi tulisan dengan copy
atau forward langsung dibagikan ke khalayak. Di sisi lain, hoax
marak karena masyarakat tak lagi bisa membedakan informasi benar dan palsu.
Pada akhirnya, informasi hoax yang datang beruntun memunculkan paradigma
kebenaran, membenarkan informasi yang diterima begitu saja.
Penyakit akut ini adalah keengganan. Dalam hal ini, sikap enggan
tampaknya linear dengan rendahnya minat baca yang
sedikit. Hal ini menjadi salah satu penyebab penyebaran hoax di tengah masyarakat. Dalam riset The World's Most Literate Nation pada April 2017
menunjukkan, dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang membaca buku per
tahun, dengan jumlah 1 buku.
Kenyataan itu tidak bisa ditutupi. Masyarakat Indonesia cenderung
menutup mata terhadap kebenaran dari informasi yang berkembang. Dewasa ini,
masyarakat lebih gandrung terhadap urusan selebritas dan popularitas. Tak
jarang, di media sosial informasi yang viral pun banyak yang melemahkan mental,
sekadar kesenangan dan dagelan. Sehingga, ketika ada informasi yang
diterima, hasrat “memviralkan” pun dilakukan tanpa mempertimbangkan benar atau
tidak.
SARA Dalam Politik
Konflik Pilkada dengan balutan hoax ibarat dua mata pisau.
Dalam perspektif teori konflik , Sosiolog Konflik Amerika Lewis Coser
(1913-2003) memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Karena di
dalam konflik, ada proses memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya.
Lebih lanjut, Coser membedakan dua tipe dasar konflik yang
realistik dan nonrealistik. Pertama, konflik realistik memiliki sumber yang
konkret atau bersifat material. Dalam konteks ini, jabatan menjadi material dalam
perebutan kursi Pilkada.
Kedua, konflik nonrealistik didorong oleh ambisi irasional yang bersifat
ideologis. Konflik ini sangat rentan jika sudah menggunggat resolusi perdamaian,
dalam hal ini mencederai kebinekaan. Konflik yang berasal dari isu agama,
etnik, kepercayaan teramat sulit disembuhkan. Konflik nonrealistik akan membuat
luka dalam yang menumpuk, kapan saja bisa meledak.
Isu SARA memang mudah ‘membakar’ massa, terutama dalam aspek
psikologis seseorang yang membuat keputusan berdasarkan pertimbangan kesamaan
agama, suku, ras, dan golongan. Syahdan, berawal dari hal tersebut, hoax,
hate speech pun terkonsolidasikan secara masif di media sosial.
Dalam meredam tensi di pilkada akibat gesekan yang buas, maka
diperlukan peran stakeholder dari kalangan mereka. Tak hanya itu, pencegahan
pun melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan para stakeholder
terkait lainnya.
Penyerangan
pernyataan tentu sangat wajar selama yang disampaikan menggunakan data dan
fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika
ada pihak yang merasa baiknya membawa hal tersebut ke ranah hukum. Sehingga,
pertikaian antara kedua belah pihak dapat diselesaikan dengan beradu di meja
hijau. Jika ada pihak yang menyebarkan informasi hoax maka dapat
dijatuhkan sanksi sesuai persidangan.
Penyebar hoax akan dijerat dengan pasal 28 ayat 1 Undang
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sesuai ketentuan pasal
tersebut, setiap orang dilarang untuk menyebarkan berita bohong. "Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik." Lebih
lanjut, dalam ayat kedua pada pasal yang sama terdapat larangan bagi masyarakat
untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian.
Pasal 45 atau 2 UU ITE berbunyi setiap orang yang memenuhi unsur
yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling
lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar. Selain pasal 28,
penyebar hoax juga bisa dijerat dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
Pada akhirnya, semua pihak harus menempatkan isu SARA yang rentan
terhadap perpecahan kebinekaan dengan bijak. Terlebih, dalam konteks kejadian
luar biasa belakangan ini, agama sangat diperlukan untuk mendamaikan bukan
untuk membakar. Perdebatan selera memilih boleh saja dilakukan namun jangan
mengkerdilkan diri dengan menggunakan isu SARA.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta