*Oleh: Muhammad Yusuf el-Badri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tengah berupaya untuk
mewujudkan kampus berkelas dunia atau world class university. Pembangunan gedung perkuliahan terus
digenjot. Pembukaan wawasan kontemporer tentang dunia Islam saban hari juga
diperbarui. Pelayanan senantiasa ditingkatkan. Kampus juga mendorong penguasaan
mahasiswa terhadap bahasa asing, bahasa Arab dan Inggris melalui rujukan jurnal
berskala internasional, yang umumnya berbahasa Arab dan Inggris. Bahkan untuk
mahasiswa Sekolah Pascasarjana diharuskan lulus matakuliah bahasa asing selain
Arab-Inggris.
Sejak 2013, ketika memulai perkuliahan di Sekolah
Pascasarjana hingga sekarang, 2018 ketika masih menjadi mahasiswa, saya
merasakan betul perubahan itu terjadi. Saya juga ikut menikmati iklim akademik
yang mendunia, di mana temuan-temuan penelitian, tesis dan disertasi mahasiswa
tak kalah baik dibanding temuan penelitian mahasiswa dan kampus negara lain.
Dari sekian banyak perubahan yang terjadi dan iklim
akademik yang terus bergerak maju, ada satu hal yang terlupakan oleh civitas
akademika, yakni kemampuan membaca. Minat baca mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tidak perlu diragukan. Dibanding dengan kampus lain yang
ada, minat baca civitas akademika Ciputat (baca; UIN) barangkali masih dalam
posisi terbaik. Buktinya, tak sedikit intelektual Ciputat, baik mahasiswa
maupun dosen, yang ikut dalam kontestasi wacana keindonesiaan. Sekali lagi, hal
ini karena iklim akademik yang sudah terbentuk dengan baik.
Lalu kemampuan membaca apa yang saya maksud? Yakni
kemampuan membaca dalam arti memahami. Mungkin saja banyak yang bisa membaca
dan mengerti, tapi tak banyak yang memahami dan menjadikan pemahaman itu
sebagai sikap hidup dan tindakan. Begitu kira-kira disebutkan Gadamer.
Realitas mahasiswa UIN tidak bisa membaca dapat kita
lihat dalam keseharian kampus. Sebagai contoh sederhana, tentang petunjuk
kunjungan di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Dalam
rangka peningkatan pelayanan, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana melengkapi Perpustakaan
dengan tas dan sandal bagi pengunjung. Setiap pengunjung Perpustakaan
diharuskan mengganti tas dan alas kakinya dengan tas transparan dan sandal yang
tersedia di loker Perpustakaan dan dikunci.
Di masing-masing pintu loker ada peringatan agar
pengunjung meletakkan kembali tas transparan dan sandal diletakkan kembali ke
dalam loker. Selain peringatan ini, di sebuah meja, juga tertera tulisan
petunjuk yang isinya Mohon Taruh Kembali Tas, Kunci dan Sandal di Loker. Tulisan
ini dibuat dengan pena tinta merah. Ini tidak hanya berarti imbauan tapi juga
peringatan yang keras dan jelas.
Adanya imbauan dan bahkan peringatan keras itu adalah
upaya keras dari patugas Perpustakaan untuk menjaga kebersihan dan kerapian.
Anda tau apa yang terjadi? Tas transparan dan sandal Perpustakaan justru
berserakan di ruang penitipan atau tempat loker berada, bahkan di atas tulisan
petunjuk atau peringatan keras itu. Tas Tranparan, sandal dan loker yang
terbuka, menjadi pemandangan yang menyehari di Perpustakaan Sekolah
Pascasarjana. Hal itu senantiasa terjadi setiap hari dan gonta-ganti pengunjung
selama jam kunjungan perpustakaan masih dibuka.
Apa daya petugas Perpustakaan. Mereka telah berupaya
memberi petunjuk dan pelayanan. Kadang ada rasa iba pada petugas Perpustakaan
itu karena mereka harus menyusun kembali tas transparan dan sandal itu saban
waktu dan akhirnya menyerah karena setiap detiknya pengunjung Perpustakaan
mengabaikan petunjuk dan peringatan itu.
Eh emang siapa yang sering mengabaikan petunjuk itu
dan membuat loker menjadi sembraut? Pelakunya itu lho, siapa? Mereka adalah
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, civitas akademika kampus yang tengah
berjalan menuju universitas kelas dunia. Kadang sebagai pengunjung saya sempat
berfikir, bagaimana mungkin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta akan menjadi
universitas kelas dunia, kalau hal kecil seperti kerapian dan kepatuhan akan
petunjuk atau rambu-rambu masih sering
terabaikan.
Terlebih lagi adalah bagaimana kita bisa berharap pada
tesis dan disertasi, hasil penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membaca
dunia dan dibaca dunia, bila pikiran sudah sumpek ketika baru saja datang ke
perpustakaan karena dihadapkan pada loker yang semberaut. Tak ada ketenangan
lagi di perpustakaan, tempat di mana mahasiswa membuat tesis dan disertasi
berkelas dunia.
Kesan saya, satu tahun terakhir ini, Perpustakaan
Sekolah Pascasarjana telah menjadi perpustakaan umum di mana setiap orang dapat
masuk tanpa perlu kartu perpustakaan dan melewati pintu pustaka tanpa pemindai.
Selain pemindai yang telah rusak sejak lama dan belum ada perbaikan, mahasiswa
yanng tidak bisa membaca petunjuk dan peringatan demi kerapian dan ketenangan,
menjadi faktor utama hilangnya ketenangan ketika mengunjungi perpustakaan
Sekolah Pascasarjana. Wallahu A’lam bis Shawab.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta