Oleh: Reynaldi Adi Surya
Dewasa ini
bangsa Indonesia seolah-olah krisis kepemimpinan sekaligus krisis akan negarawan yang jujur dan berintegritas. Banyak
perbuatan para politikus yang menyebut diri mereka sebagai pemimpin dan wakil
rakyat justru tak berbeda dengan seorang pembegal. Sudah bukan rahasia lagi
jika korupsi, suap, nepotisme dan hura-hura telah menjadi image yang menempel pada politikus negeri ini. Seolah politik
adalah suatu ladang yang menggiurkan sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengais
rezeki.
Seorang yang
terjun kedunia politik praktis sebenarnya adalah orang yang mulia. Orang yang mengabdikan
hidupnya didunia politik berarti orang yang mau mengorbankan jiwa dan raganya demi
kepentingan oang banyak. Namun kejadian saat ini justru malah sebaliknya,
sebagian orang terjun kedunia politik kini justru bukan merealisasikan
idealismenya namun untuk menyambung hidup.
Pasti kita
semua mengutuk dan mengecam tingkah laku para politikus-politikus ini. Kita
kecewa terhadap orang yang hanya mengumbar janji namun akhirnya malah menghisap
darah rakyat. Sayangnya, sikap dan mental politikus tersebut tidak hanya
melanda para politisi negeri ini, tetapi juga terjangkit pada mental dan sikap
mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang seyogyanya adalah harapan masa depan bangsa
sekaligus agent of Change kini juga
terjangkit penyakit yang sama dengan para politikus negeri ini.
Kegiatan dan
aktivitas ilmiah kampus telah tercemar oleh kegiatan perpolitik kampus. Student
goverment yang bertujuan agar mahasiswa diberikan gambaran tentang proses berdemokrasi,
justru menjadi ajang perebutan kursi dan proyek. Kampus yang seyogyanya netral
telah menjadi sarana politik para politikus kampus agar kampus atau fakultas
sesuai dengan warna atau bendera organisasinya.
Dunia ilmiah
sudah dikorbankan oleh kegiatan hiruk pikuk politik kampus dan perebutan
kekuasaan yang justru merusak citra akademik perguruan tinggi yang bertujuan
untuk menciptakan Mahasiswa yang intelek, berpandangan luas dan visioner. Akhirnya
mahasiswa yang diciptakan dari kegiatan hiruk pikuk politik kampus hanya
mahasiswa yang fanatik, pandai
lobi-lobi, pintar orasi namun miskin konsepsi. Bagi para politisi kampus, tugas
mahasiswa kini bukan cuma belajar, namun juga menjaring massa
sebanyak-banyaknya untuk mengikuti organisasi mereka dan berusaha memenangkan
golongannya di Pemilihan Raya.
Fungsi dari
Perguruan Tinggi adalah menciptakan insan-insan cendekia. Manusia yang
berpandangan visioner, rasional dan terbuka. Diharapkan melalui perguruan
tinggi ini, para Mahasiswa digembleng
untuk dapat merumuskan suatu rencana masa depan yang bermanfaat untuk masa
depan bangsa. Dan fungsi daripada organisasi ekstra adalah untuk menggembleng
mahasiswa agar menjadi agen pembaruan yang berintegritas. Sayangnya organisasi
ekstra dan kampus telah menjadi rusak dan melenceng dari khittah-nya ketika keduanya menjadi wahana perpolitikan kampus.
Menyiapkan Negarawan Masa Depan
Daoed Joesoef,
seorang cendekiawan Indonesia sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan sudah jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa percampuran politik
dalam dunia akademik dapat merusak citra perguruan tinggi yang menjunjung asas
ilmiah dan objektivitas. Kegiatan politik kampus akan menghambat mahasiswa
dalam proses akademiknya. Sebab tenaga yang dicurahkan untuk menyusun konsep
pembangunan dan gagasan, terhambat oleh kegiatan dan persaingan politik kampus.
Ujung-ujungnya mahasiswa yang dihasilkan bukanlah seorang yang mampu membaca
persoalan dan memecahkan masalah bangsa.
Namun apakah mahasiswa
harus menjauhi politik? Apakah mahasiswa tidak perlu berorganisasi? Jawabannya
adalah mahasiswa perlu berpolitik dan mahasiswa perlu berorganisasi. Namun, pmenurut
Daoed Joesof politik yang dilakukan oleh mahasiswa bukanlah politik sebagaimana
para politikus di parlemen. Kategori politik ada dua: 1. Politik aksi, 2.
Politik konsepsi. Politik Aksi adalah politik ala para politikus yaitu yang bermain
dalam ranah pemerintahan, sedangkan yang dimaksud politik konsep adalah
membaca, menganalisis dan mengkritik suatu kebijakan politik pemerintah.
Mahasiswa,
menurut Daoed Joesof harusnya bermain diranah politik konsepsi, sebab sebagai
calon pemimpin, mahasiswa harus tetap bersikap independen, kritis, dan
mengupayakan untuk melahirkan suatu gagasan cemerlang. Memang bagi mahasiswa
yang gemar ‘hore-horean’ dalam perpolitikan kampus, mereka kerap menuduh
mahasiswa-mahasiswa yang rajin baca buku dan diskusi sebagai mahasiswa utopis
yang hanya pintar berteori. Justru kenyataannya mahasiswa yang pandai berteori
serta merancang suatu gagasan adalah calon pemimpin ideal dimasa depan.
Sayangnya
mereka yang tenggelam oleh arus politik kampus justru adalah politikus karbitan
yang kebanyakan kurang mampu dalam menyusun suatu gagasan dan menganalisis
suatu permasalahan secara mendalam, kecuali beretorika dan berorasi. Kita tidak
ingin mahasiswa menjadi sosok seperti itu. Kampus dan organisasi seyogyanya
didirikan untuk menciptakan seorang mahasiswa yang menjadi pelita bagi negara.
Situasi yang
kacau ini harus diubah. Sebelum melakukan perubahan pada tingkat nasional,
sistem perguruan tinggi sebagai tempat para abdi bangsa dibina harus dirubah
dan dilakukan penyegaran. Kampus harus netral dari kegiatan politik dan menjaga
independensi ilmiah. Kampus harus menjadi sarana akademik untuk menggembleng
para intelektual muda. Program NKK/BKK yang digagas Daoed Joesoef justru sangat
penting dilaksanakan pada masa sekarang ini, dimana bangsa kita tengah
mengalami krisis kepemimpinan dan krisis mahasiswa-mahasiswa yang visioner.
NKK/BKK
seyogyanya bukan alat Orde Baru untuk membungkam sikap kritis mahasiswa. Daoed
Joesoef mwngatakan bahwa kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan
Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) bertujuan untuk menjaga netralitas dan
stabilitas kampus dari hiruk pikuk politik. Tugas mahasiswa saat ini bukanlah
berpolitik, tapi belajar dan menyiapkan diri menjadi negarawan serta merumuskan
konsep-konsep pembangunan untuk masa depan. Dan
tugas organisasi adalah membangkitkan kesadaran politik serta
menggembleng mahasiswa untuk menjadi calon pemimpin masa depan.
Kegiatan
politik yang berusaha hanya menjadi arena perebutan bendera-bendera organisasi
dan saling hantam dalam pemilihan raya demi sebuah kursi, harus diubah dan
dipertimbangkan ulang. Mahasiswa yang tergabung dalam badan eksekutif atau
himpunan jurusan harus merepresentasikan dirinya sebagai wakil jurusan atau
fakultas masing-masing, bukan mewakili suatu organisasi atau golongan. Kampus
dan organisasi ekstra harus berdiri secara terpisah, keduanya tidak boleh
saling mengintervensi dan menganggu.
Betapa
pentingnya peran mahasiswa dalam masyarakat dan sejarah bangsa kita, sehingga
ide-ide yang segar, gagasan jitu dan konsep-konsep pembangunan yang jernih
sangat dibutuhkan. Dan pembangunan konsep seperti demikian tidak bisa lahir
dari mahasiswa yang populis dan mahasiswa terbuai oleh ‘hore-horean’ politik
kampus. Peran mahasiswa saat ini sangat mendesak sebagai agent of change dan
itu hanya bisa dilaksanakan oleh mahasiswa-mahasiswa yang menjunjung tinggi
perannya sebagai konseptor, sebagai man of analysis yang pandai mengagas suatu
konsep, bukan sekedar mahasiswa yang pintar berorasi.