Selain menjadi sarana hiburan, seni peran juga sebagai
media pembelajaran. Pagelaran “Orkes Madun II Atawa
Umang-Umang” mengajarkan untuk mengenal Tuhan melalui diri sendiri.
Dua belas pemain tampak duduk berjajar di atas kursi menghiasi
panggung berlatar hitam yang disoroti lampu warna warni. Sinar lampu pun mulai redup,
hanya proyektor dan lampu kamera yang tampak menyala menyorot panggung sandiwara.
Lonceng berbunyi dua kali, rombongan Waska—pemimpin
rombongan—mulai muncul dengan memakai kostum nuansa tempo dulu. Jumlah
rombongan semakin banyak seiring lonceng yang terus menggema. Seolah-olah
sedang mengintip sesuatu, mereka berjajar di atas kursi dalam kegelapan. Merasa
bingung, Engkos—salah seorang anggota menanyakan tindakan yang tengah mereka
lakukan. Sayang, tindakan tersebut berujung maut, Ia dilempari batu oleh
seluruh anggota rombongan hingga tewas.
Sebagai pemimpin rombongan, Waska mempunyai rencana besar
yang diceritakan pada Ranggong—salah satu anggota rombongan. Ia berkeinginan
memimpin suatu operasi besar secara simultan. Seluruh penjuru kota akan
diserang dan dirampok habis-habisan. Merampok 130 bank, 400 pabrik, dan 2000
perusahaan. Bagi Waska, anak-anak lapar dan dahaga akan mengancam
keheningan langit yang dapat menggetarkan para nabi dan malaikat.
Selepas itu, Waska tampak membeku dengan ekspresi senyum
kecil diwajahnya. Sakit Waska kian parah. Anggota rombongan pun turut sedih dan
menangis melihat Waska yang tengah sekarat. Ketika Japar mencoba mengatupkan
kelopak mata Waska secara perlahan, tiba-tiba Ia bangkit dan menyemburkan ludah
ke wajah Japar sembari mengumpat.
Waska seakan hilang bak mitos anak yang dilarikan
kuntilanak. Sesaat kemudian seniman lewat dengan gesekan biolanya. Semua orang
mewartakan kesedihannya. Mendengar kabar itu, Bigayah—kekasih Waska—melamar
Waska, namun Waska menolaknya lantaran merasa umurnya masih muda—meskipun sudah
berumur 100 tahun.
Menurut anggota rombongan, Waska lebih dari sekadar
pemimpin. Ia berkharisma. Wajahnya yang hitam tetap bersinar seperti matahari. Melihat
Waska sekarat, Borok dan Ranggong pun mendatangi Embah Putri untuk meminta jamu
penangkal mati. Embah Putri pun memberikan resep jamu dadar bayi. Jamu tersebut
terbuat dari jantung bayi yang dikeringkan, lalu ditumbuk dan diminum dengan
minuman yang panas.
Borok dan Ranggong pun mendapat ide untuk membedah
jantung bayi yang sudah mati. Mereka menggali kubur, membuka kain kafan
kemudian membedah jantung bayi tersebut. Obat itu diberikan kepada Waska, Ia
pun segera sembuh dan menggelar pesta untuk merayakan kesembuhannya.
Karya Arifien C. Noer ini bercerita tentang menuduhkan
magma—penggalian kekayaan sumber daya alam. Kisah ini menuturkan jika seseorang
sudah mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhan-Nya. Pertunjukan ini
diadakan oleh Teater El Ma’na di Aula Insan Cita Ciputat pada Selasa (6/2).
Menurut Sutradara Teater El Ma’na Echo Chotib, lakon berjudul
Orkes Madun II Atawa Umang-Umang ini menyajikan karya monumental Arifien C.
Noer—yang juga sebagai sutradara film G30S-PKI. Echo menyatakan, Arifien baru
berhenti menceritakan karya ini pada komik dan kelas Bahasa Perancis. Namun
belum sampai pada penulisan naskah drama. “Naskah drama ini karya El Ma’na yang
mendapat ide dari Arifien C. Noer,” ucapnya, Selasa (6/2).
Konsep yang dipilih dalam panggung sandiwara ini ialah
seni dramatic reading—para pemain duduk di kursi membaca naskah dengan
tidak terlalu banyak menampilkan adegan. Echo memilih seni dramatic reading
lantaran seni ini belum terlalu dikenal di Indonesia, meskipun sudah mulai
dirintis. “Dramatic reading itu simpel, tapi mengena,” ucapnya, Selasa
(6/2).
Siti Heni Rohamna