Tak sekadar wadah seni, kanvas sebagai media penyalur kritik
sosial. Lukisan karya Zaenal Arifin menggambarkan sekat-sekat yang ada dalam
masyarakat.
Sebuah kanvas terpampang di dinding menyambut
kedatangan pengunjung tatkala memasuki ruangan pameran. Tergambar enam orang
manusia purba berjajar secara berurutan dari tinggi ke rendah. Bak seekor kera
yang tengah membawa payung menjadi urutan terakhir yang ada dalam gambar
tesebut. Berlatar belakang warna cokelat tua, makhluk-makhluk hidup itu nampak
nyata dalam sorotan lampu berwarna kuning.
Lukisan tersebut berkisah tentang sejarah manusia yang
berlawanan dengan Teori Evolusi yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Berawal
dari manusia yang berdiri tegak sempurna hingga berwujud mirip seekor kera. Nampak
apik dalam balutan warna cokelat yang dominan.
“Mereka harus terbang dengan kepak-kepak dusta
jahanam, akan tersungkur jatuh ke dalam genangan air mata yg ditaburi berjuta
kutukan”. Begitulah sepenggal kalimat yang tercantum tepat di sebelah lukisan berjudul Monyet di
Uwongke. Tetesan-tetesan cat berwarna hitam di sisi kiri menjadi penegas
deretan tulisan. Warna-warna cerah dan gelap turut menampakkan kesan hidup
lukisan. Lukisan tersebut menyimpam pesan agar manusia tidak berdusta.
Beralih ke lain sisi, di tengah-tengah ruang pameran,
nampak lukisan yang menampilkan seekor burung berwarna emas. Lukisan yang
berjudul refleksi ini dilukis di atas kanvas berukuran 250 x 200 centimeter.
Pantulan dari sang burung emas ini menghadirkan sisi lainnya yang berwarna
lebih gelap, akibat pantulan cermin.
Lukisan ini memberi kesan realita kehidupan yang
dinamis, terkadang berada pada masa terpuruk namun gemilang di lain sisi. Sang
burung berwarna hitam gelap melambangkan kehidupan yang dominan diselimuti
ketakutan, kecemasan dan penindasan. Di tempat yang berbeda sang burung emas
justru menampakkan kehidupan yang jaya dan superioritas.
Terpajang pula lukisan wajah seorang pria dengan
rambut panjang berwarna hitam. Jenggot hitam kontras dengan tulisan next di dahinya yang keriput. Nampak
tembok berwarna merah, oranye, biru dan putih yang menambah kesan mistis dan
tegang pada wajah sang pria. Kantung mata yang tergambar seakan menunjukkan
usia yang tak lagi muda.
Beralih ke sisi kanan ruang pameran. Sebanyak tujuh buah lukisan terpampang di ruangan berukuran
tak lebih dari 5 x 3 meter itu. Seorang wanita dengan rambut yang terikat
menjadi salah satu lukisan yang terpampang. Terlihat wanita itu menutup
mulutnya dengan jari telunjuk dihadapan harimau besar. Seakan ingin membungkap
aungan harimau.
Lain halnya dengan lukisan berjudul ‘Dialog Imajiner’ berukuran
200 x 150 cm yang menampakkan dua sosok wanita. Terlihat dua wanita dengan
pistol di tangan beserta kepala yang terbelit seutas tali. Tubuh yang
terbungkus sehelai kain, salah seorang wanita meletakkan telunjuk ke pistol
yang ditodongkan ke arahnya.
Pameran lukisan yang mengusung tema Laku ini merupakan
buah karya dari Zaenal Arifin. Pertunjukan ini mengisahkan tentang perjalanan
seseorang dalam mencari penyadaran dan pembebasan batiniah. Bertolak belakang pada kenyataan bahwa sifat
alamiah manusia yang membentuk sekat di dalam masyarakat.
Menurut Koordinator Pelaksana Penjualan, Istikomah
terdapat kurang lebih 30 lukisan yang terpampang. “Pemilihan karya Zaenal
Arifin telah melalui banyak proses sehingga sampai pada pameran saat ini,”
tutur Isti, sapaan akrabnya, Rabu (7/3). Lukisan yang dipamerkan pun dijual
untuk umum, harganya mulai dari puluhan juta rupiah.
Salah seorang pekerja lapangan, Sri Indah, menyambut
baik adanya pameran ini. “Selain sebagai upaya edukatif, pameran juga sukses
menghibur pengunjung dengan berbagai macam bentuk dan warna lukisan,” ucapnya,
Rabu (7/3). Dirinya yang baru tujuh hari melaksanakan kerja lapangan mengaku
senang dapat menjaga pemeran.
Nurlely Dhamayanti