Banyak orang menganggap organisasi menghambat studi,
namun tidak dengan Din Syamsuddin. Baginya organisasi justru meningkatkan
prestasi.
Terlahir sebagai anak seorang tokoh
agama di Sumbawa, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin kecil sering diajak sang ayah
ke berbagai macam kajian hingga bertemu tokoh-tokoh besar. Tak heran di usianya
yang masih belia ia sudah peka terhadap dinamika dan permasalahan sosial.
Di bangku Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Muhammad Sirajuddin Syamsuddin mulai tertarik menyampaikan gagasannya
dengan bergelut ke dalam organisasi. Ia terpilih sebagai Ketua Organisasi Siswa
juga sebagai Ketua Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama cabang Sumbawa. Motivasinya
tak lain hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
Tamat SMP, Sirajuddin muda ingin masuk
pesantren. Keinginan itu memuncak seiring dengan impian Sirajuddin menjadi
seorang ulama. Nahas terhalang kondisi ekonomi orangtua. “Orangtua menanggung 9
bersaudara,” ungkap tokoh yang pernah menjadi ketua umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah ini, Senin (12/3).
Kondisi itu tak lantas membuat harapan
Sirajuddin pupus. “Saking” inginnya, hingga tidur pun ia mengigau ingin masuk
pesantren. Melihat kondisi anaknya, orangtua Sirajuddin iba. Walhasil keinginan
Sirajuddin untuk masuk pesantren terwujud. Ia dimasukkan ke Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor.
Gontor bukan hanya meningkatkan
kapasitas intelektual Sirajuddin, namun jauh dari itu jiwa organisasinya pun
meningkat pesat. Pasalnya, ia terpilih sebagai Pengurus Organisasi Pelajar
Pondok Modern Divisi Penerangan kala itu. Dalam menjalankan tugasnya,
Sirajuddin dituntut untuk dapat memberikan informasi di depan ribuan santri
dengan menggunakan bahasa Arab dan Inggris.
Lulus dari Gontor, Sirajuddin melanjutkan jenjang perguruan tinggi di
Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Masa mahasiswa Sirajuddin
tidak hanya dihabiskan dalam meja perkuliahan, namun juga aktif sebagai aktivis
organisasi ekstra dan intra kampus. Pilihannya untuk menjadi seorang aktivis
bukan tanpa alasan, namun melalui banyak pertimbangan.
Budaya kajian keilmuan dalam suatu
organisasi menjadi penentu utama pilihannya, karena bagaimanapun akan
berpengaruh bagi intelektualnya. Ia percaya, semua yang dilakukannya kala itu
akan berpengaruh bagi masa depan termasuk organisasi yang ia pilih. “Kajian
keilmuan pertimbangan saya,” ujar pria
yang dikenal dengan nama Din Syamsuddin ini.
Aktif di organisasi membuat Din
Syamsuddin juga berkembang secara akademis, terbukti beasiswa prestisius Fulbright dapat ia peroleh. Bermodal
beasiswa tersebut ia melanjutkan program Master of Art Interdepartmental
Programme in Islamic Studies tahun 1988 di University of California, Los
Angeles. Gelar doktor juga ia peroleh di universitas yang sama. Pada 1989-1993
ia terpilih sebagai Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah
Pria berdarah Sumbawa ini menceritakan,
keaktifanya dalam berorganisasi memberikan dampak positif bagi kehidupan. Ia
membantah bahwa keaktifan organisasi dapat menghambat studi. “Saya bukan penganut paham bahwa aktif di organisasi
menghambat studi, justru saya memahami dan
mebuktikan sebaliknya,” katanya dengan nada tegas.
“Hasil tak akan mendustai usaha,” pribahasa
tersebut sarat dengan Din Syamsuddin. Berkat usaha dan kegigihannya, publik
mengenal ia sebagai sosok organisatoris kelas wahid baik di dalam negeri maupun
mancanegara. Terbukti, ia pernah menduduki posisi strategis dalam berbagai
organisasi ternama. Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, Ketua Umum Majlis
Ulama Indonesia 2014-2015, hingga Chairman of Center for Dialogue and Cooperations
among Civilizations yang sekarang ia emban.
Dalam kesempatan yang sama pula, Din
Syamsuddin berpesan agar anak muda berani tampil untuk mejadi yang terbaik. Ia
menegaskan pantang anak muda berkata tidak sebelum mencoba dan berusaha. “Kenapa
tidak jadi yang terbaik, jika tekad memuncak pasti akan terbuka jalan,”
tegasnya, Senin (12/3)