Oleh: Ach. Wasila Amin
Sejak
dibahas dan disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018, revisi UU ini mengundang
kontroversi karena berpotensi menjadikan anggota DPR kebal hukum. Padahal dalam
adagium hukum menegaskan bahwa seseorang memiliki kedudukan yang sama di mata
hukum dan hal ini dikenal dengan asas (equality
before the law).
Hasil
revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) terus menuai polemik karena dengan
berlakunya undang-undang ini, sudah tidak ada kebebasan lagi bagi kita untuk
mengawasi kinerja para anggota DPR hal ini menunjukkan merosotnya kinerja
anggota DPR, bahkan dalam isi revisi uu MD3 menyebutkan secara jelas kritik
terhadap anggota DPR akan berpotensi besar dipidana.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 73 ayat 2, rancangan undang-undang yang tidak ditandatangani oleh
presiden dalam waktu paling lama 30 hari, sejak disetujui bersama DPR dan
Presiden, sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan, hal ini berdasarkan
ketentuan konstitusi "Ketika Presiden diam saja, setelah 30 hari, RUU itu
menjadi UU dan wajib diundangkan.," Undang-Undang MD3 memuat setidaknya
tiga pasal kontroversi.
Pertama,
pasal 73 yang memberikan kewenangan pada DPR untuk meminta polisi memanggil
paksa seseorang jika mangkir dari panggilan lembaga legislative. Undang-undang
sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi “membantu” memanggil pihak yang enggan
datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa
Polisi “wajib” memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa. "Dalam hal
setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3
(tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak
melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia."
Kedua,
Pasal 122 huruf k yang mengatur soal kehormatan DPR dan anggota DPR. Dalam pasal 122 huruf k yang berbunyi
MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang “merendahkan” kehormatan
DPR dan anggota DPR.
Pasal ini sangat berbahaya dan dapat mengancam
kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak konstitusionalnya dalam mengawasi
wakil rakyat karena Kata 'merendahkan' di dalam pasal tersebut memiliki makna
multitafsir sehingga pasal tersebut dapat digunakan untuk membungkam daya
kritis masyarakat pada masa demokrasi yang tujuannya untuk membatasi kebebasan
berpendapat dan kebebasan pers.
Ketiga,
Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR. Pemeriksaan anggota DPR yang
terlibat tindak pidana harus ada pertimbangan MKD sebelum DPR “memberi izin.” Padahal pada tahun 2015 MK sudah memutuskan
bahwa pemeriksaan harus dengan seizin presiden, bukan lagi MKD.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis
dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD).
Indikasi
ini dapat terlihat, dimana mereka sengaja mengeluarkan undang-undang yang dapat
melindungi mereka dalam jeratan kasus hukum. Padahal, seharusnya semua orang
itu memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. “Sehingga dari awal mereka
membentengi dirinya sendiri, dengan cara membuat pasal-pasal yang tentu mereka
tidak mudah dikenakan proses hukum,”