Berwisata alam sembari mempelajari
nilai keberagaman mempunyai daya tarik tersendiri. Desa Bentek di Lombok Utara
menyajika kebhinnekaan unik dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Ketika berkunjung ke Pulau Lombok,
kebanyakan orang hanya menjelajahi pelbagai destinasi wisata alamnya yang
indah. Padahal di Lombok, pengunjung juga dapat mengunjungi sebuah desa yang erat
akan tradisi dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Salah satunya Desa
Bentek di Kabupaten Lombok Utara, sebuah miniatur kebhinnekaan Indonesia.
Label miniatur kebhinnekaan yang
melekat pada Desa Bentek tidak serta-merta ada, melainkan cerminan dari
keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Kepala Desa
Bentek Warna Wijaya, bahwa penduduk Desa Bentek mempunyai latar belakang agama
dan budaya berbeda. Sedangkan persentase penduduk Desa Bentek berdasarkan agama
tahun 2017 di kantor kelurahan tercatat, Islam 45%, Buddha 45%, Hindu 9,6%, dan
Kristen 0,04%. Populasi penduduk Kristiani menurut keterangan Wijaya merupakan
bagian kecil pendatang.
Desa Bentek mempunyai keunikan
tersendiri dalam merawat kebhinnekaan, terlihat dari cara mereka berinteraksi
sosial. Semua penduduk terlihat sama, baik itu umat Muslim, Buddha, Hindu, dan
Kristiani memakai busana yang sama dan saling berbaur tanpa ada batasan agama.
Perbedaan hanya terlihat dalam ritual dan peribadatan saja, bukan dalam ranah
kehidupan sosial.
Ada pelajaran menarik dari pola kehidupan
masyarakat Desa Bentek, dalam keragamannya mereka mejunjung tinggi nilai gotong
royong. Semua umat beragama harus turut andil dalam pembangunan rumah
peribadatan. Apabila umat Buddha hendak membangun wihara, maka harus melibatkan
seluruh warga Desa Bentek dari lintas kepercayaan. Begitupun umat Muslim jika
hendak membangun masjid, maka seluruh masyarat Desa Bentek dari lintas agama
harus ikut andil.
Masyarakat Desa Bentek sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupannya, mereka tidak
lagi mempersoalkan toleransi antar sesama. Menurut keterangan salah satu tokoh
agama Budha Mekha Wahdi, mereka sudah tidak menjumpai perselisihan dan konflik
antas dasar perbedaan agama dan kepercayaan. “Derajat kami di atas toleransi,
yaitu kekeluargaan,” tutur Wahhi Rabu (25/01).
Persoalan hukum di Desa Bentek berada
di bawah peraturan adat, manyarakat lebih menaati peraturan yang dibuat tokoh
dari masing-masing agama. Jika terjadi suatu konflik, maka penyelesaian dilakukan
melalui jalur perundingan yang dihadiri masing-masing tokoh agama. Karena
peraturan adat disusun oleh tokoh-tokoh yang mewakili agama dan kepercayaan di
Desa Bentek, maka peraturan tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh
seluruh masyarakat.
Untuk menuju Desa Bentek, pengunjung
dapat mengunakan jalur transportasi udara melalui Bandara Internasional Lombok.
Lalu perjalanan dilanjutkan menuju pusat kotamadya Mataram dengan menggunakan
angkutan umum Bus Damri bandara. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat
menggunakan jasa travel dengan menempuh waktu kurang lebih satu jam tiga
puluh menit lamanya.
Dari kotamadya Mataram menuju Desa
Benteng menempuh perjalanan 35,6 km, dengan estimasi waktu perjalanan hingga
satu jam. Selain itu, di wilayah tersebut tidak tersedia transportasi umum
seperti angkutan kota dan sejenisnya ke tempat tujuan. Sehingga wisatawan dapat
menyewa transportasi untuk mempermudah perjalanan.
Selama perjalanan menuju Desa Benteng,
wisatawan akan dimanjakan pandangannya oleh panorama pantai yang membentang di sepanjang
jalan. Sesampainya di Desa Bentek, wisatawan akan disambut penduduk dengan
ramah tamah, tak jarang mereka mengenakan pakaian adat suku Sasak. Tepat di
tengah-tengah pemungkiman desa, terdapat pelbagai bangunan peribadatan yang
saling berdekatan.
Seorang wisatawan asal Jakarta Manapiah
Anadiroh mengatakan, berwisata ke Pulau Lombok memberikan wawasan baru akan
pentingnya toleransi. Pelajaran berharga mengenai toleransi Ia dapatkan, salah
satunya walau mereka terdiri dari berbagai umat beragama, namun tetap saling
menghargai. Keharmonisan yang mereka tunjukan baik itu dari budayanya mereka
masing-masing, serta ritual keagamaan juga sangat erat. “Antar umat beragama
mereka saling toleransi,” ungkap Ana Rabu (25/01).
M. Rifqi Ibnu Masy