Judul buku : Identitas dan
Kekerasan
Pengarang : Amartya Sen
Penerbit : Marjin Kiri
Jumlah halaman : 242
Pemahaman identitas secara sembarangan membuat dunia berada dalam
konflik yang berkepanjangan. Perlu pemahaman identitas secara menyeluruh agar
konflik tidak terus terjadi.
Kepulan asap hitam membumbung tinggi di langit Amerika 11 Septemer 2001.
Gedung WTC di New York kehilangan kemegahannya, tergantikan dengan letupan api
disertai asap. Pemandangan yang sama terlihat di Gedung Pentagon. Sebuah
pesawat menabrak salah satu sisi bangunan bersegi lima itu. Beberapa jam
sebelumnya, 19 pembajak mengambil alih kemudi pesawat dan menabrakkannya ke
gedung-gedung di dataran Amerika Serikat. Spekulasi berkembang, dalang
penyerangan adalah Osama bin Laden yang notabene adalah seorang muslim.
Ketika ramai
pelaku pengeboman World Trade Center (WTC) 2001 adalah orang Islam, orang Barat
beramai-ramai menyalahkan Islam. Pandangan atas identitas tunggal “orang Islam”
menimbulkan tuduhan yang sewenang-wenang kepadanya. Sebutan “orang Islam”
sebagai satu-satunya identitas telah menghilangkan kemungkinan afiliasi
seseorang dengan yang lain. Identitas sebagai “orang Islam” diikuti dengan
konskuensi politik tertentu.
Padahal,
betapa pun kuatnya identitas “orang Islam”, manusia tetaplah memiliki afiliasi
dengan identitas lain. Misalnya, selain memilih keyakinan Islam, dia adalah
seorang warga negara Indonesia, keturunan Arab juga seorang ekonom. Persepsi
adanya identitas tunggal telah mereduksi kekhasan manusia yang kompleks dengan
berbagai afiliasinya.
Di samping
kritik atas tesis Huntington, pandangan Sen pun berawal dari pengalamannya
ketika berusia 11 tahun. Saat itu Sen
menyaksikan seorang buruh Muslim ditikam hingga tewas dalam kerusuhan sektarian
di India. Para penikamnya dari kelompok Hindu, juga buruh yang sama-sama
miskin. Lalu mengapa kesamaan identitas kelas ekonomi ini bisa terlupakan dan
tergantikan secara membabi buta oleh identitas keagamaan?
Sen mengungkapkan bahwa semua fenomena kekerasan kolektif itu sesungguhnya
sangat tergantung kepada sistem pengetahuan kita mengenai cara pandang terhadap
kekerasan itu sendiri. Pandangan Sen tersebut sekaligus kritik atas tesis Samuel P.
Huntington tentang Benturan Antarperadaban.
Sen menegaskan kelemahan paling mendasar Huntington terletak pada
digunakannya satu bentuk yang sangat ambisius dari ilusi tentang ketunggalan.
Ilusi ketunggalan ditarik dari asumsi bahwa seseorang tidak mungkin dipahami
sebagai satu pribadi dengan banyak afiliasi, tidak pula sebagai orang yang
menjadi bagian dari berbagai kelompok yang berbeda-beda, melainkan semata
sebagai bagian dari kolektivitas tertentu yang memberinya identitas unik dan
penting.
Kelemahan kedua yaitu pendekatan peradaban yang digunakan cenderung
mengabaikan kebhinekaan yang ada dalam tiap-tiap peradaban. Huntington
menganggap peradaban-peradaban itu bersifat homogen dan jumud.
Sen menggali konsep yang banyak disalahpahami tentang
identitas. Bagi Sen, asumsi Huntington tentang pengotak-kotakkan identitas dari agama,
sejarah peradaban dunia dan politik tidak mungkin dipahami sebagai pribadi
dengan banyak afiliasi adalah kurang tepat. Menurutnya identitas agama
seseorang tidak bisa dijadikan identitas mutlak yang melingkupi keseluruhan
identitas orang tersebut. Satu sisi identitas telah membuat
manusia-manusia yang berbeda dapat disatukan dalam sebuah ikatan yang absurd.
Sen menilai ada dua kesalahan mendasar
yang terjadi dalam memahami identitas. Pertama, persepsi adanya
identitas tunggal telah mereduksi kesejatian manusia yang kompleks dengan
berbagai afiliasi, contoh Dea muslim, dia juga orang Indonesia pun keturunan
Arab.
Kedua, persepsi
bahwa identitas adalah temuan, meski kenyataannya juga adalah pilihan. Seorang pria memang akan tetap menjadi
pria. Tetapi dia bisa memilih apakah dirinya ingin dikenali sebagai seorang
pria atau seorang dosen hukum, seorang penikmat kopi, atau sebagai fans Real
Madrid.
Demikian
ulasan menarik Amartya Sen tentang Identitas dan Kekerasan. Selain mengkritisi
tesis Benturan Peradaban milik Huntington, buku ini juga mengajak dunia untuk
hidup rukun dalam keanekaragaman identitas yang dimiliki. Namun, lantaran buku
asli berbahasa Inggris, maka dalam buku terjemahan masih banyak menggunakan
diksi yang kurang popular.
Muhamad Ubaidillah