Derap langkah para manusia membuat
diriku termenung demikian lama, yang membuat pikiranku melayang jauh ke antah
berantah tanpa nama. Sebuah negeri rupawan yang tiada dua. Yang sekali kalian
datang ke dalam pelukannya, maka tak akan pernah kau lepaskan untuk selamanya.
Ya, negeri itu yang kini khalayak sebut cinta.
Tetapi, terkadang sebelum sampai ke
negeri yang aku sebutkan tadi, aku selalu saja menepi. Tanpa titah dari diriku
sendiri, jiwaku terhenti di sebuah negeri kelam tanpa setitik cahaya yang menerangi.
Negeri hampa tanpa tawa yang menerangi. Sebuah negeri yang penuh dengan amarah
emosi. Sebuah negeri yang khalayak sebut dengan benci.
Aku tak paham, dan sama sekali tak
paham. Kenapa harus ada rasa yang kelam. Jika kita bisa merasakan rasa yang
hangat lagi dalam. Tanpa harus merasa geram. Juga, menyatu seperti dunia ini
dengan alam.
Ada juga negeri yang amat kelabu, di
antara banyak negeri yang mungkin jumlahnya mencapai seribu. Bahkan, tak sampai
jarimu atau kehidupanmu. Negeri semu, yang hanya berisi kesedihan parau, dan
tak berisi kenyataan manis yang akan memukau. Sebuah negeri bernama sendu.
Wahai jiwa-jiwa yang belum
terbebaskan! Apakah kau pahami arti rasa yang telah tersebutkan? Hanya
segelintir saja yang bisa dirasakan, oleh kalian yang seharusnya merasakan.
Tanpa sedikitpun kalian dengungkan, kenapa dengan tololnya kalian berbuat
semena-mena tanpa pikiran. Tak mengertikah kau akan sakit hati yang begitu rentan, yang sekali saja kau
sandarkan, maka akan hancur lebur berantakan.
“Aku ini apa Tuhan! Manusia kah aku,
atau aku manusia?” Tanyaku saat diriku ini bersimpuh di malam miliknya, yang
para ulama katakan akan ampuh untuk memohon atau meminta ke haribannya. “Jika
kau bisa beri jawabnya, maka tunjukan itu semua Maha esa!” Dengan pongahnya,
dan dengan tanpa malu yang tinggi rasa. Aku umbarkan semua resahku dalam dada.
Sebuah pertanyaan yang (mungkin)
bodoh, tanpa sedikitpun aku melihat kembali akal ku ini dengan merogoh.
Semuanya mungkin seperti omong kosong tak bermutu. Seperti guci tanpa air yang
hanya berisi butiran debu. Hanya sekadar ucapan belaka dari diriku.
Malam yang amat kelam. Benar sangat
kelam, tanpa sedikitpun cahaya temaram. Tanpa sedikitpun menemani ku di kala
aku terpuruk, seperti seorang hina yang amat buruk, lagi busuk. Aku hanya
mengais jawaban kecil, yang aku harap ia muncul walau hanya secuil.
***
Cahaya pagi menyingsing sedikit,
seakan menyapaku yang kini terbaring sakit. Entah, bagaimana caranya cahaya itu
bisa membuatku sedikit bangkit. Seperti seekor mangsa yang dengan halusnya
terlilit. Dibangunkan dengan butiran-butiran embun pagi yang sedikit.
Rasanya, seperti dulu kau menyapa.
Aku terbaring lemah tak berdaya. Lalu, kau datang dengan perasaan hangat yang
membuat aku nyaman di dalamnya. Seketika, aku merasa dirimu adalah bidadari
utusan yang Maha Kuasa, yang secara khusus dikirimkan kepadaku untuk
menenangkan jiwa dan juga raga.
Namun, semuanya hanya omong kosong. Saat aku
tahu, bahwa dirimu hanyalah seonggok jasad kosong. Tanpa isi, seperti gelap
dalam lorong.