Judul : The Battleship
Island
Sutradara : Ryeo Seung
Wan
Genre : Aksi
Durasi : 132 menit
Film
The Battleship Island memampangkan kekejian
penjajahan Jepang. Kerja paksa hingga eksploitasi perempuan sebagai
pelacur menjadi adegan kelam perbudakan dunia.
Saban penjajahan,
kejahatan kemanusiaan lumrah menguntit mengirinya. Keduanya ibarat api dan asap.
Tak bisa dipisahkan. Dalam waktu yang lama, dunia saling ekspansi. Negara yang
kuat lumrah menjajah negara nan lemah.
Begitu hukum alamnya. Imbasnya pun beragam. Tapi satu yang pasti, jutaan jiwa
tanpa dosa menjadi korban.
Sutradara, Ryeo Seung Wan
pun mencoba membongkar tabir hitam tersebut. Lewat film The Battleship Island, Seung memampangkan fenomena penderitaan
masyarakat sipil akibat penjajahan. Berlatar belakang tahun 1945—akhir perang
dunia II— negara Samurai, Jepang, menjajah Semenanjung Korea. Kala itu pelbagai
penderitaan dialami rakyat Korea.
Perbudakan merupakan salah
satu imbas penjajahan Jepang. Choi Chil-sung (So Ji-sub)—mantan
gengster— bersama masyarakat Thaeyon dikumpulkan di dek kapal. Mereka diangkut
menuju pulau Hashima. Sayang, dalam
kapal mereka tak mendapatkan kenyamanan. Di letakkan di dek kapal membuat para
penumpang kewalahan menghadapi udara panas ruangan. Sayang, akibat terjajah,
tak ada perlawanan.“Sekali melawan kalian akan mati” begitu ujar tentara
Jepang.
Ibarat jatuh, tertimpa tangga
pula. Penderitaan pun masih berlanjut.
Sesampai di tempat tujuan, Pulau Hashima (40 km dari Nagasaki), penumpang pun
dipisahkan antara pria dan wanita. Melihat teman wanitanya dipisahkan, Choi
Chil-Sung dan warga lain pun melawan,
tapi tak berdaya. Pasalnya mereka mendapat
pukulan dan tendangan dari tentara Jepang nan perkasa dengan senjata kepunyaannya.
Dalam film berdurasi 130 menit ini
Seung pun mempertontonkan perihnya perbudakan. Para pria diasingkan, digiring
menuju tambang batubara. Tak kurang dari 400 orang dipekerjakan siang-malam
tanpa upah. Waktu istirahatpun terbatas. Di samping itu, makanan penambah
tenaga juga tak layak komsumsi. “Makanan apa ini ?” keluh Lee Kang-Ok sesaat
usai menemukan kecoa dalam makanannya. Jadi, wajar saja ratusan mayat pun bergelimpangan.
Tak terurus. Hanya menyisakan sejarah kelam.
Perbudakan memang belum berhenti
hingga sekarang, meskipun Liga Bangsa-Bangsa (sekarang PBB) telah melakukan Konvensi
Perbudakan sejak 1926. Bentuk perbudakan saat ini tidak jauh berbeda dengan
dulu semasa perang dunia. Kini termasuk perbudakan juga anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja
di lahan pertanian atau pabrik. Sampai tenaga kerja terikat yang berjuang untuk
melunasi utang yang bertumpuk dan korban penyelundupan manusia.
Sekretaris Jenderal PBB periode
2012-2016 Ban Ki Moon dalam perhelatan Hari Penghapusan Perbudakan
Internasional 2015 memperkirakan saat ini 21 juta orang di dunia menjadi budak.
Ban mengisyaratkan agar negara-negara anggota PBB kembali mengingat resolusi
Hari Anti Perbudakan.
Film ini bergenre drama. Sutradara Ryeo
Seung Wan seolah mengajak penonton untuk menentang
perbudakan. Adegan demi adegan terpampang kekejian perbudakan. Pada dasarnya
perbudakan bentuk eksploitasi manusia. Tak
berkemanusiaan dan jauh dari kata memanusiakan manusia.
Sayang, terdapat pelbagai kekurangan dalam film ini.
Terlalu banyak bagian misalnya. Kondisi ini membuat film tergolong tak jelas.
Di samping itu membuat cerita terpotong-potong. Terlebih lagi, banyak artis pemeran
baru yang muncul tiba-tiba di tengah cerita. Hal itu semakin membuat cerita
semakin tak fokus.
Muhamad Ubaidillah