Oleh: Diana Lestari*
Suhu
udara dingin masih membungkus tubuh pagi ini. Bahkan aku telah terbangun
sebelum ayam jago berkokok dikejauahan. aku tertidur selama hampir 4 jam saja
tadi malam. Mataku sulit berkompromi, sudah berusaha memejamkan mata, memaksanya
agar tertidur, tapi apalah daya ketika seseorang dilanda kekhawatiran akan
sangat sulit sekali berurusan dengan tidur. Setelah berjam-jam bergelung dengan
teori dan latihan-latihan soal, pukul satu dini hari akhirnya aku tertidur. Dan
seolah tubuhku telah terpasang alarm, aku terbangun dengan sendirinya pukul 4
pagi. Bergegas mandi, tepat setelah langkahku keluar dari kamar mandi, adzan
subuh berkumandang merdu.
“Bay!”
Aku memukul sembarang pantat Ubay yang tergulung selimut. Posisi tidurnya yang
terkurab membuatku terkekeh geli. Belum lagi dengkurannya yang tidak kalah
menggelikan. Ubay adalah teman terbaik yang pernah aku punya selama di kampung
halaman. Dia telah lebih dulu merantau ke kota ini, menyewa kamar kos yang
hanya berukuran 3 x 4 m2, cukup nyaman.
“Bay!
Eiih.. hudang maneh, sholat subuh” Aku memukul sekali lagi pantatnya.
Membangunkannya untuk shalat. Dia menggeliat, mengganti posisi tidurnya,
merentangkan kedua tangan dengan posisi terlentang, tidur lagi. Aku menyerah,
memutuskan sholat subuh lebih dulu.
Hari
ini akan menjadi hari paling menegangkan bagi calon mahasiswa manapun. Tidak
terkecuali aku. Sejak kedatanganku seminggu yang lalu ke kota ini, dengan
memantapkan niat, aku sudah merasakan atmosfir ketegangan yang luar biasa. Selama
seminggu itu pula aku habis-habisan menggenapkan usaha dengan mengikuti
bimbingan persiapan tes masuk universtas, BIMTES orang-orang menyebutnya. Hanya
3 hari saja BIMTES itu berlangsung, tapi selama seminggu itulah aku tidak
pernah berhenti belajar dan berdoa. Semoga aku lulus.
Aku
tidak punya siapapun di kota ini, tidak ada sanak saudara yang tinggal di sini.
Tapi aku sangat beruntung, karena teman terbaikku dengan senang hati
menampungku sementara di sini selama aku bejuang mengalahkan soal-soal tes. Atau
mungkin jika aku lulus, Ubay bersedia berbagi kamar kost-nya denganku.
Pukul
enam pagi aku sudah berangkat menuju kampus yang jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari kos-kosan Ubay. Aku meninggalkan Ubay yang masih tertidur bagai
batu. Dia hanya menggeram ketika menjawab ucapan pamitku. Semalam dia pulang
hampir pukul 11 malam, Aku tahu dia sangat kelelahan akibat lembur kerja.
Hari
ini kebetulan hari minggu, dia bisa tidur puas seharian. Ini
hari pertama ujian tes masuk universitas jalur mandiri. Kampus
telah ramai oleh lalu-lalang peserta tes. Langkahku terhenti persis di depan
satu gedung kampus. Bagi orang kampung sepertiku, gedung ini sangat tinggi
dengan ke 7 lantainya –-sempat-sempatnya aku menghitung jumlah latai itu. Aku
mendongak, beracak pinggang, menatap lekat ketinggian gedung. Lantas bergumam
dalam hati. Jepri.... kau akan lulus tes dan kau akan menjadi penghuni
gedung ini, HARUS! Semburat cahaya matari pagi menerpa dinding dan
kaca-kaca gedung.
Lima
menit berlalu, aku baru menyadari telah mejadi pusat perhatian orang-orang
disekitar. Aku segera menurunkan kedua tangan, memperbaiki posisi ransel yang
sebenarnya baik-baik saja. Aku menghembuskan napas kencang, melanjutkan langkah
kaki, mulai memasuki loby kampus. Aku
tiba di lantai paling bawah.
Tepat di hadapanku sebuah televisi super datar dan
tipis tergantung di atas langit-langit membawahi tangga, sedang memutar vidio
profil kampus. Sekali lagi aku berdiri termangu menatap layarnya. Disebelah
kiri dan kananku, sejumlah orang berkerumun di depan pintu yang terbuat dari
logam atau sejenisnya. Dikedua sisi pintu itu ada sejenis tombol yang terbenam
di tembok, berwarna merah menyala. Ah, bagiku semunya terasa asing. Semua serba
baru. Aku segera celingukan, teringat sesuatu.
“Duh,
mana ya kertasnya..” Aku merogoh seluruh kantong ranselku. Mencari selembaran
kerta, yang berfungsi sebagai kartu peserta tes. jika tidak ada kertas itu aku
akan gagal dan kalah, bahkan sebelum berperang.
“Ahh..
ieu timu!” Akhirnya aku menemukannya. Aku segera membaca jejeran abjad dan
angka dikertas itu, tertulis “FITK. Lt.07 -14”. Apa ini artinya? Aku kembali
menatap Televisi datar itu. Ah sudah, sebaiknya aku bertanya. Aku segera
mencari seseorang yang bisa aku tanyai. Tengok kanan dan kiri, kenapa semuanya
perempuan. Aku gemetar, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Orang-orang
di televisi bilang, ini namanya nervous atau grogi. Sedikit banyak aku
juga tahu bahasa orang kota, gaol.
Aku
melangkah patah-patah, menghampiri salah-satu gadis berkerudung merah muda,
baju hitam lengan panjang, mengenakan rok berwarna sepadan dengan kerudungnya.
Di punggungnya teronggok ransel berwarna hitam. Dia salah satu gadis yang
berkerumun di depan pintu logam yang masih tertutup itu, berdiri paling
belakang. Jarakku hanya satu meter dengannya. Tangan kananku terulur, menyentuh
sedikit bahunya.
“Mbak?”
“Ya?”
Gadis itu menoleh ke arahku. Mataku terbelalak, gerakannya seolah Slow
motion, tiba-tiba udara terasa berhembus lembut menerpa wajahku. Matanya
besar dan sayu tapi tidak belo, alisnya tergores hitam alami, batang hidungnya
kecil menopang kaca mata, bibirnya tipis, pipinya lembut merah merona, wajahnya
tirus, manis sekali.
“Ada
apa ya?”
Aku
terperanjat terkejut, Asstagfirullahal’aziim... “eh,.. eeh ini mbak, saya
mau tanya. Tulisan ini artinya apa ya?” aku segera menunjukan kerta peserta
tesku. Dia meraihnya.
“oohh
ini.. ini ruang tesnya, ada di lantai 7 ruang kelas no 14.” Dia mengembalikan
kertas itu.
“ooh
ruang kelas. Lantai 7 ya.” Aku kembali mengambil kertas itu darinya. “Terimakasih
Mbak” Dia mengangguk, tersenyum tipis. Lantai 7? Aku balik kanan menatap
tangga yang tergelantung televisi datar di atasnya yang sejak tadi tidak
berhenti memutar ulang video profil kampus. Aku menelan ludah. Berdiri
mematung, tiba-tiba...
“Mas!”
“Ya?”
aku menoleh kearah suara. Gadis itu memanggilku. Apa dia ingin mengajakku
berkenalan?
“Naik
Lift saja. Ini sudah terbuka Liftnya.” Gadis manis itu melambaikan tangannya.
Merangsek masuk ke dalam ruang yang sejak tadi pintunya tertutup lama.
“Oh,
i-iya iya Mbak.” Aku bergegas ikut masuk, bergabung dengan sejumlah calon
peserta tes yang semuanya perempuan. Ooh ini yang namanya Lift. Setahuku,
Lift itu tangga yang berjalan sendiri..
Ada
sekitar delapan sampai sepuluh perempuan di sini. Aku berdiri merapat ke sudut
dinding Lift, menyempil. Gadis itu berada tepat di belakangku. Pintu logamnya
berdesing mulai tertutup sendiri. Satu detik. Ruangan ini sedikit berguncang.
Perlahan mulai naik, semakin lama semakin terasa cepat. Aku menelan ludah.
Kenapa kepalaku terasa pusing? Lift terus berdesing naik. Tiga menit, kepalaku
benar-benar terasa pusing. Lift belum juga berhenti. Empat menit, aku mual.
Tanganku dingin, keringat merembes di dahi dan rambutku. Aku menunduk dalam,
tanganku menekan-nekan dinding Lift. Lima metit, pintu Litf terbuka. Dua orang
keluar. Aku tidak tahu persis ini di lantai berapa, yang aku tahu aku harus
segera keluar dari ruangan kecil ini. Aku keluar mengikuti dua gadis tadi.
Menghembuskan napas kencang berulang kali. Di sebelah kiri Lift berjejer
kursi-kusri yang terbuat dari besi lengkap dengan meja berbahan kayu,
menghadap ke sebuah jendela berukuran besar yang terbuka lebar.
“Huhf
huhf huhf huhf huhf huhf...” aku terduduk di kursi itu, beruntunglah tidak ada
satu orang pun yang duduk di sini. Aku bisa leluasa bertingkah. Aku memedamkan
wajahku di atas meja kayu. Perutku mual, kepalaku pusing. “Alamaaak... lier
siraah.. Jepri payah.. ” mataku terpejam, tanganku sibuk memijat-mijat
kepala. “Maak.. Jepri mabok lipt (maklum orang sunda, jadi F nya pake P).”
Aku bergumam lemah. “Bahkan kamu baru memulai perjuangan ini Jepri.. Ahhh..”
“Maaf,
Mas.”
"Nya
naon? iee sirah lier..." mulutku spontan nyerocos sebelum mataku melirik ke
arah datangnya suara seruan "maaf" itu. "Ee..ehh.. Mbak?"
aku terperanjat melihat wajah manis itu tertegun bingung. Dia berdiri di
sebelah kiriku. Aku segera memperbaiki posisi duduk senormal mungkin. kami lama
terdiam. aku sungguh gugup dan malu. apa dia tau, jika aku sedang mabok lift?
Astaga, jika dia tau, habislah reputasiku. Kuno di mata gadis manis ini.
"ehh..
ini.." Akhirnya dia bicara. tangan kanannya terulur. "Kerta masuk
tesnya tadi jatuh di dalam Lift."
"O-oh..
iya. terimakasih." tanganku patah-patah meraih kertas tes itu dari
tangannya. sekali lagi gadis yang belum ku ketahui namanya ini menyelamatkan
hidupku, lebih tepatnya menyelamatkan kesempatan tes ku.
"Kenapa
turun dilantai ini? lantai 7 kan masih dua lantai lagi di atas."
"ehh?
oh, memang ini lantai berapa ya?" aku balik bertanya. jurus pamungkas agar
tidak begitu mempermalukan diri sendiri. aku berusaha tersenyum ketir, melihat
wajahnya yang masih menyisakan kebingungan menatapku.
"Ini
baru lantai 5. Kelas saya juga di lantai 7. kalau mau kita sama-sama ke
sana." senyumnya terlihat semakin manis. ooooh.. gusti, gadis ini
mengajakku? sekali lagi mataku terbelalak, ditambah sekarang hatiku ikut
berdesir. Baiklah, aku harus berani menannyakan namanya.
Tanpa
berpikir panjang, aku menerima ajakannya. Rasa pusing di kepalaku seketika
hilang. tapi semoga aku tidak kembali mabok selama berada di dalam lift menuju
dua lantai ke atas sana. Semoga tidak, toh hanya dua lantai saja.
* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan