“Dek pecel dek. Mau pecel dek. Rp1000-an
satu dek. Ada kopi juga dek”
Saban hari akrab di telinga mahasiswa terdengar
suara perempuan sekitar 40-an itu. Logat bahasa Jawanya kental. Ia menggotong
tiga buah keranjang berwarna merah. Isinya pelbagai gorengan. Ada tahu, bakwan,
tempe. Tak ketinggalan sate. Di tangan kanan ia biasa menjinjing termos pemanas
air untuk menyeduh kopi. Perempuan asal Pekalongan ini sudah puluhan tahun menjajakan
gorengan ke pelbagai fakultas di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sayang, empat hari terakhir suara perempuan
itu tak terdengar lagi. Seakan daun tua yang jatuh dihantam
angin, mungkin begitulah yang dirasakan oleh Rahayu. Bagaimana tidak? Mata
pencaharian Ia geluti selama bertahun-bertahun terancam hilang. Kisah sedih itu terjadi kala Ia tengah
berjualan di samping Student Center (SC) pada hari selasa 31 Oktober
2017. Tiba-tiba Satuan Pengamanan
(Satpam) UIN
Jakarta, Muhammad mendatanginya.
Bukan tanpa
maksud, Muhammad langsung memberikan ultimatum padanya untuk tidak berjualan
lagi. “Jangan sekali-sekali berjualan di sini, atau barang dagangan diangkut,”
begitu tuturnya kira-kira saat itu. Alasannya tak kuat pun dimunculkan.
Perempuan yang akrab disapa Bu De Pecel ini dianggap sebagai pedagang
ilegal yang tidak punya hak untuk berjualan.
Tak dapat
berkata-kata, Bude Pecel mengaku sedih dan bingung harus berbuat apa. Sudah bertahun-tahun Ia berdagang
di kawasan UIN Jakarta, kehidupan keluarganya hanyalah bertumpu pada hasil
berjualan keliling seperti pecel, kopi dan minuman. “Kalau saya di usir, maka
saya tidak bisa berjualan lagi disini,” ujarnya dengan wajah muram.
Rahayu pun tak
menyangka jika pihak pihak kampus dapat berbuat ‘tega’ dengan putusan larangan
berdagang itu. Sebelumnya memang pernah ada teguran dari satpam karena
berjualan. Pada tahun 2004, pihak kampus pernah melakukan peringatan serupa, Rahayu
tak boleh lagi berjualan di seputaran kampus. Rasa takut pun muncul dan membuat
perempuan ini berhenti jualan sampai 2,5
tahun. Namun karena faktor ekonomi, Bude Pecel merasa
terdorong untuk berjualan kembali dengan cara diam-diam “Saya bingung harus
berbuat apa, dan saya mau berjualan dimana lagi,” tuturnya sembari melayani
pelanggan, Jumat (3/11).
Sebelumnya,
bulan lalu Ia pernah ditawarkan bekerja sama
dengan Coffie Cangkir. Namun Bude Pecel menolak karena mewajibkan bagi
hasil. “Penghasilan kecil-kecilan, tak seberapa,” ujarnya. Setelah tawaran
tersebut ditolak, tiba-tiba ada orang yang memotret dirinya dan satpam pun
datang memberikan teguran.
Menurut salah
satu mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Moh Yamin berjualan gorengan di
kampus tidak membuat mahasiswa resah.
Malah bisa saja memberikan dampak yang positif. “Meskipun Rahayu
berjualan di dalam kampus tidak jadi masalah,” tuturnya, Jumat (10/11)
sambil mencelup secangkir kopi hangat. Banyak kalangan mahasiswa telah sepakat
mendukung untuk membantu Rahayu. “Ada rencana untuk melakukan aksi demontrasi
save Bude Pecel di hari Senin
nantinya” tambahnya.
Menanggapi hal
ini, Satuan Pengamanan (Satpam) UIN Jakarta, Muhammad Menjelaskan, pedagang
kaki lima tidak boleh berjualan di dalam kampus. Sebab tidak memiliki izin dari
pihak kampus. “ Ia telah termasuk pedagang ilegal,” tuturnya, Jum’at (3/11).
Ia pun
menambahkan, setiap berjualan di dalam kampus harus memiliki kerja sama dengan
Koperasi Mahasiswa (Kopma) dan Coffie cangkir. Tujuannya adalah agar tidak
permasalahan yang terjadi nantinya. “Semisal makanan telah kadaluarsa dan
mahasiswa keracunan, siapa pula yang akan bertanggung jawab?” tuturnya.
Menurut pantauan Institut pada 2-3
November lalu media sosial riuh dengan hastag "Savebude Menolak Lapar Menuntaskan Kelaparan Mahasiswa UIN Jakarta". Hastag Savebude seolah memiliki daya magnet, pelbagai status
WhatApp mahasiswa UIN Jakarta menguntit secara bersamaan status bertemakan Savebude. Muhammad Deden misalnya
memuat foto Savebude di status WhatApp miliknya. Tak ketinggalan Makaryo pun
melakukan hal yang sama.
MS