Getol dalam pengembangan bangunan gedung. Tak pelak,
pelbagai temuan audit BPK mengiringinya.
Dua buah Digital Versatile Disc (DVD) laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperoleh
reporter Institut pada 12 Oktober silam.
Isinya bikin dahi berkeryit, ada laporan keuangan Satuan Kerja (Satker) di
bawah Kementerian Agama (Kemenag) kurun waktu 2015 dan 2016. Isi DVD itu
setebal sekitar 2000 halaman. Di
dalamnya pelbagai hasil audit keuangan dan aset Kemenag terpampang.
Sebagai Satker Kemenag, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pun tak luput dari audit. Berdasarkan data BPK terdapat
temuan terkait pelbagai bangunan gedung di UIN Jakarta. Dalam Laporan BPK 2015
halaman 904 tercatat adanya temuan gedung Lembaga Pelatihan Tenaga Kependidikan
(LPTK) UIN Jakarta. Saat itu kontraktor gedung adalah PT. PP Precast dengan
konsultan pengawas PT. Yodya Karya. Dalam lampiran 1.4.3.5.1 tercatat
kekurangan perhitungan volume pekerjaaan. Hal itu mencakup kelebihan
perhitungan volume beton dan kelebihan perhitungan ratio tulangan. Total
kerugian sebesar Rp377.258.359,87.
Tak sampai di
situ, di gedung LPTK juga tercatat kelebihan pembayaran karena kesalahan
perhitungan Rancangan Anggaran Belanja (RAB). Dalam kontrak, UIN Jakarta
seharusnya mengeluarkan anggaran sebesar Rp317.561.336,70. Namun dalam realisasinya
UIN Jakarta menggelontorkan anggaran sebanyak Rp403.512.804,11— terpaksa
menambah anggaran sebesar Rp85.951.467,41—. Tak hanya itu terdapat juga kelebihan
pembayaran pekerjaan bondek sebesar Rp192.222.695.55. Berdasarkan hitungan BPK,
di gedung LPTK negara mengalami kerugian senilai Rp270.987.131,72.
Selanjutnya, Pembangunan
gedung Pusat Perpustakaan dan Gedung Parkir pun terdapat temuan oleh BPK.
Ketika itu pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh Avetama Betindo KSO dengan
nilai kontrak Rp46.531.675.374. Menurut laporan BPK 2015 di halaman 905 terdapat kekurangan volume bangunan pekerjaan.
Tak tanggung-tanggung, akibatnya terdapat jumlah selisih volume pekerjaan
senilai Rp255.244.047,85.
Imbas kekurangan volume pekerjaan pun
melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No 4 Tahun 2015 Perubahan Keempat
Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa pemerintah. Kasus
yang menjadi temuan audit BPK berdasarkan Perpres tersebut terjadi karena
penyedia jasa tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Di samping itu,
disinyalir juga akibat kelalaian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menerima
dan menyetujui pembayaran.
Setahun berikutnya,
pada 2016 BPK pun kembali mencatat dugaan kerugian negara pembangunan gedung di
UIN Jakarta. Kali ini gedung Fakultas
Adab dan Humaniora (FAH) yang menjadi sorotan BPK. Pada awalnya, gedung yang
berlokasi di Jl. Tarumanegara, Ciputat Timur ini dibangun
atas bantuan dari program Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sebagai
kontraktor, UIN Jakarta menggaet PT Satyagi
Cipta Prima.
Sayang, dalam
pelaksanaannya BPK mencatat terdapat dua temuan pada pembangunan FAH. Pertama,
kelebihan pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan. Menurut BPK tercatat
kelebihan pembayaran sekitar Rp142.660.548,00. “Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa BPK diketahui bahwa terdapat kekurangan
volume pekerjaan. Kekurangan volume pekerjaan tersebut, antara lain terjadi
pada pengadaan barang modal, struktur bangunan, mekanikal, dan arsitektur,” catat BPK pada halaman 489 terkait
Laporan Keuangan Kemenag 2016.
Kedua, denda keterlambatan
pekerjaan pembangunan belanja modal. Keterlambatan ini pun semakin menambah
daftar temuan BPK pada pembangunan gedung UIN Jakarta. Berdasarkan data BPK pada
halaman 853 tercantum pembangunan gedung
FAH UIN Jakarta telat selama 31 hari dari perjanjian awal. “Dikenakan denda
keterlambatan sebesar satu perseribu dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan,” catat BPK.
Terkait
keterlambatan pembangunan itu menyalahi Perpres No.4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau
Jasa Pemerintah. Pada pasal 120 yang menyatakan bahwa penyedia barang/jasa yang
terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang atau jasa, dikenakan denda
keterlambatan.
Lebih
mencengangkan, BPK pun mencatat di UIN Jakarta terdapat bantuan riset yang tanpa didukung lembar pertanggungjawaban
(LPJ). Dalam catatan BPK, UIN Jakarta mendapatkan enam bantuan Riset
Ensiklopedi Islam Indonesia dengan total bantuan Rp83 juta. Laporan tersebut
tertuang dalam lampiran 1.2.12.1 laporan keuangan Kemenag 2016. Selain bantuan
riset, UIN Jakarta pun tercatat mendapatkan bantuan peningkatan mutu pengabdian
kepada masyarakat sebesar Rp70 juta. Sayang, bantuan ini pun tercatat belum
memiliki LPJ.
Ketiadaan LPJ
melanggar Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Pasal 21 Nomor 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/Lembaga. Pasal
tersebut berbunyi penerima bantuan pemerintah harus menyampaikan LPJ kepada PPK
sesuai dengan perjanjian kerja sama setelah pekerjaan selesai atau pada akhir
tahun anggaran.
Hal senada pun diungkapkan Koordinator Data dan Publikasi Forum Indonesia
untuk Tranparansi Anggaran (FITRA), Yenti Nurhidayat. Ditemui di ruang
kerjanya, Yenti mengatakan penggunaan anggaran tanpa adanya LPJ telah menyalahi
aturan yang ada. Terkait ketiadaan LPJ menurut Yenti menyalahi prosedur
administrasi pelaporan keuangan negara. Di samping itu, berpotensi terjadinya
penyimpangan (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).
Menyoal masalah banyaknya temuan yang tidak sesuai di UIN Jakarta oleh
BPK Sekretaris Satuan Pengawas Instern Adi Cahyadi pun angkat bicara.
Menurutnya adanya temuan tersebut kontraktor pelaksana pembangunan diharuskan
membayar ganti rugi kepada negara senilai kerugian yang dialami. “Kontraktor
harus mengganti rugi kelebihan pembayaran tersebut kepada negara,” ungkapnya,
Kamis (12/10). “Setahu saya kontraktor pembangunan gedung LPTK telah bayar
kerugian,” tambahnya.
Atik Zuliati
Tulisan dalam versi cetak ada di Tabloid Institut edisi Oktober 2017 dengan judul "UIN Terciduk BPK"