Seharusnya 2017 adalah tahun pendewasaan bagi bangsa kita.
Di tahun ini, Presiden Joko Widodo telah memasuki tahun keempat masa
jabatannya. Di tahun ini juga lah reformasi telah berusia 19, hampir dua
dekade, dan tragedi kemanusiaan 65 masuk ke usia 52. Sebuah usia dan masa
jabatan yang telah cukup untuk disebut dewasa.
Sayangnya angka tersebut hanyalah angka. Di tahun keempat
Presiden Jokowi berkuasa, upaya-upaya pelarangan dan pembubaran diskusi serta
acara lain terus bermunculan. Mulai dari acara Belok Kiri Fest yang berlangsung
tahun lalu hingga yang paling mutakhir, pembubaran seminar serta pengepungan
gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia beberapa minggu lalu.
Pembungkaman semacam itu tentu bukanlah hal yang diharapkan
dari reformasi. Di usianya yang sudah hampir lewat masa remaja itu, cita-cita
tentang kebebasan berpendapat harusnya bukan lagi hal yang perlu diperjuangkan.
Ia harusnya telah menjadi hal yang dimiliki semua orang. Dan sayangnya, negara
serta pemerintah gagal menjamin hal tersebut.
Persoalan ini memang tidak cuma melanda aktivitas-aktivitas
yang berbau 65. Ada juga diskusi atau aktivitas lain yang berbicara tentang hak
kelompok minoritas yang dibungkam. Tapi pembungkaman terhadap narasi atas 65
terbilang jauh lebih mengerikan dan cenderung membahayakan nyawa seseorang.
Tentu saya masih mengingat bagaimana ketakutan saya ketika
hadir di sekitar gedung LBH Jakarta, dikelilingi massa yang mengepung gedung
itu dengan teriakan-teriakan “bunuh” kepada mereka yang ada di dalam. Semua
berbicara kalau di dalam gedung Partai Komunis Indonesia yang telah lama mati
itu tengah mengadakan rapat, dan mereka merasa perlu membunuh setiap mereka
yang ikut acara tersebut.
Apa yang mereka katakan tentang teman-teman saya yang ada di
dalam gedung jelas saja keliru. Sejak siang saya ikut terlibat dalam acara asik
asik aksi yang berisi penampilan musik serta pembacaan puisi. Hanya acara
senang-senang untuk merespon represi terhadap pelarangan seminar sejarah yang
hendak dilaksanakan sehari sebelumnya.
Kegilaan semacam itu tentu bukan semata kesalahan mereka
yang mengepung LBH. Mereka digiring oleh instruksi dan sebaran poster yang
menyebut ada rapat PKI di LBH. Dan semua itu, tentu saja, dilakukan berdasar
desain yang matang bukannya secara serampangan.
Memang, sabtu itu di LBH Jakarta hendak dilaksanakan seminar
sejarah 65. Acara tertutup yang diadakan sejarawan, pegiat HAM, serta para
penyintas 65 untuk menyuarakan narasi lain terkait apa yang sebenarnya terjadi
pada tahun 1965-1966. Sebuah narasi yang didasari pengalaman para penyintas
serta hasil riset para sejarawan.
Suka atau tidak, sudah ada banyak sekali buku-buku berbasis
riset terkait 65 yang berisi narasi yang berbeda dengan sejarah resmi versi
orde baru. Memang narasi-narasi yang hadir amat mungkin diperdebatkan, tapi
saya rasa ada satu hal yang tidak mungkin bisa kita perdebatkan tentang 65.
Tentang sebuah peristiwa berdarah yang mematikan sekitar 500 ribu hingga 3 juta
rakyat Indonesia. Sebuah tragedi kemanusiaan paling keji sejak perang kedua
selesai berkecamuk.
Terserah orang-orang berkata apa, namun kejadian di atas
adalah sebuah fakta yang tak mungkin kita bantah. Persoalannya, ada 2 masalah
yang hadir kemudian. Pertama negara tidak pernah mengakui kalau pernah terjadi
pembantaian massal pada periode 1965-1966. Kedua, masyarakat yang tidak suka
belajar sejarah justru menjadi pihak yang paling getol menolak kenyataan
tersebut.
Sebenarnya, karena dua persoalan inilah kemudian hadir cukup
banyak diskusi-diskusi menyoal 65 yang dilakukan berbagai kelompok. Mereka yang
telah membaca riset dan narasi-narasi alternatif tentang 65 hanya mencoba
melakukan pembahasan atas bacaan tersebut. Setelahnya, tentu saja hasil kajian
serta bahasan yang dilakukan mereka coba disebarluaskan melalui agenda publik
seperti seminar atau diskusi.
Pertanyaannya, adakah yang salah tentang hal tersebut? Saya
kira tidak. Apa yang dilakukan dalam seminar dan diskusi adalah kegiatan yang
sifatnya akademis. Semua dilakukan berbasis ilmu pengetahuan, dan tidak
dilengkapi dengan kebohongan yang justru hadir dalam sejarah resmi orde baru.
Kalau pun ada hal yang salah dari kegiatan semacam ini, saya rasa
kesalahannya hanyalah satu: bahwa narasi yang didiskusikan tentang 65 itu
adalah kebenaran dan hal tersebut mengusik pihak-pihak yang selama ini bisa
jadi menutupi narasi itu dengan kebohongan.
*Penulis merupakan Ketua Komunitas Kretek Indonesia