Oleh: Hidayat Salam*
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) saat
ini dipandang sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang terbilang mahal
biaya masuknya. Namun kualitas pendidikan yang mahal tersebut tidak menentukan
baiknya kualitas dari perguruaan tinggi swasta. Bahkan dalam beberapa kasus
perguruan tinggi swasta lebih longgar dalam paraktik jual beli ijazah di
banding perguruan tinggi negeri.
Dalam hal ini, mungkin bisa kita
lihat dari banyaknya penutupan perguruan tinggi swasta yang dilakukan
pemerintah beberapa waktu lalu. Sebagaimana dikutip di Harian Kompas Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah menutup 25
perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia. Tulisan dengan judul Pemerintah
Cabut 25 PTS Masyarakat Diminta Cermat Memilih Perguruan Tinggi lagi-lagi
menambah daftar PTS yang telah ditutup oleh pemerintah.
Dalam pencabutan iazin ini
pemerintah berdalih dengan pencabutan izin PTS yang bermasalah tersebut menjadi
langkah tepat yang diambil oleh pemerintah guna memperbaiki kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia. Sistem pendidikan PTS pun perlu diperbaiki dan diawasi.
Bahkan sering kali PTS yang bermasalah terlibat kasus fatal lantaran kurangnya
pengawasan dari pemerintah.
Selama dua tahun terakhir
(2016-2017) setidaknya ada 192 PTS yang sudah ditutup oleh pemerintah.
Persoalan pun muncul kepermukaan, alasan pencabutan izin PTS pun dinilai lantaran
tidak memenuhi standar perguruan tinggi yang sudah ditetapkan oleh
Kemenristekdikti. Dalam standar tersebut harus menjalankan segala aspek
termasuk tri dharma perguruan tinggi yang mana itu merupakan tujuan yang
dicapai oleh semua perguruan tinggi di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya
ternyata tidak semua perguruan tinggi dapat melaksakan tri dharma.
Untuk menjalankan tri dharma
perguruan tinggi, salah satunya setiap PTS dapat memberikan pendidikan yang
sesuai standar perguruan tinggi seperti halnya jumlah rasio dosen dan mahasiswa
yang baiknya satu dosen mengajar maksimal 30 mahasiswa. Selain itu dengan memiliki
fasilitas yang sesuai standar tersebut digadapat menyelenggarakan sistem
pendidikan secara baik dan optimal.
Biaya yang mahal yang ditetapkan
oleh PTS tidak dapat tersentuh oleh masyakarat kelas bawah yang ada di
Indonesia. PTS yang seharusnya bersifat untuk tidak mengutamakan keuntungan
namun nyatanya masih banyak PTS yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal
ini berdasarkan atas sistem kelola pendidikan yang buruk.
Bahkan di PTS sering kali terjadi
praktik jual beli ijazah yang merupakan pelanggaran dalam pendidikan di
Indonesia. Sebagaimana dilansir dari laman www.kompas.com pada 2015 terdapat beberapa PTS
yang dibekukan karena terlibat dengan jual beli ijazah. Kasus jual beli ijazah
yang terjadi di PTS sudah masuk dalam ranah kriminalitas. Ini perlu tindak
tegas dari pemerintah kepada PTS yang terlibat kasus tersebut.
Memang di PTS sendiri harus diakui
perlu mempunyai biaya yang banyak guna memenuhi semua fasilitas yaang
disediakan serta untuk membayar gaji dosen. Namun biaya yang banyak itu tidak
menjamin adanya sistem pendidikan yang baik, ini dibuktikan dengan terjadinya
pencabutan izin. Bahwa masih banyak PTS yang lebih mementingkan unsur tertentu
daripada sistem pendidikan yang dijalankannya.
Lebih lanjut ketika pencabutan izin
PTS diberlakukan sering kali banyak yang mendapat dampak kerugian tak
terkecuali mahasiswa dan dosen. Tidak diakuinya ijazah oleh negara lantaran
izin PTS dicabut pun menghambat karir mahasiswa lulusan PTS tersebut. Terlebih
mahasiswa yang ingin menempuh karir di pemerintahan seperti yang ingin
mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Harus Ada Solusi Bijak
Pemerintah pun dalam melakukan
pencabutan izin sebaiknya juga mempunyai solusi yang tepat agar tidak
menimbulkan masalah lainnya. Saat pencabutan status izin PTS tentu akan
menimbulkan dampaknya dan ini perlu dipikirkan oleh pemerintah. Nasib mahasiswa
ataupun dosen harus diperhatikan sebaik mungkin oleh pemerintah selaku pemilik
kewenangan.
PTS yang bermasalah dapat segera
diselesaikan lebih duhulu dengan baik dan dengan memperhatikan semua yang
terkena dampaknya. Namun nyatanya pemerintah di samping telah menutup PTS yang
bermasalah juga telah memberikan izin baru kepada perguruan tinggi baru tanpa ada
pertimbangan untuk menyelesaikan semua masalah secara optimal.
Apalagi ketika pemerintah telah mengeluarkan
keputusan yang justru malah menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakatnya
sendiri. Niat pemerintah yang semula ingin memperbaiki kualitas perguruan
tinggi di Indonesia tidak dibarengi dengan memberikan solusi yang bijak pada
PTS yang bermasalah.
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta