![]() |
Oleh : Nurlely Damayanti*
Dewasa ini, kebutuhan akan terlindungnya diri pribadi
menjadi sangat signifikan untuk dilakukan. Pasalnya, setiap manusia sudah dikodratkan
untuk mendapat jaminan atas keselamatan pribadinya dari sang pencipta. Maraknya
perilaku kurang menyenangkan menjadi salah satu penyebab perlunya penegakan
yang tak pandang bulu.
Salah satu penjaminan akan keselamatan dan keamanan
pribadi ialah polisi. Sebagai mana
dengan visi utamanya untuk mewujudkan pelayanan kemanan dan ketertiban
masyarakat yang prima, serta tegaknya hukum dan keamanan dalam negeri yang
mantap juga terjalinnya sinergi polisional yang proaktif. Dengan begitu, peran
polisi tak dapat dianggap remeh untuk menegakan keamanan bagi setiap individu.
Namun, bagaimana jika peran-peran itu justru tercoreng
akibat perilaku sewenang-wenang yang justru mengancam keselamatan bermasyarakat?
Faktanya, hal itu marak terjadi dalam kehidupan berbangsa masa kini. Aparatur
negara yang seharusnya menjadi contoh bagi pembentukan masyarakat yang damai
dan tenteram, justru harus ternodai dengan catatan hitam buntut
kesewenang-wenangan polisi.
Padahal negara sudah mengatur terciptanya rasa aman dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 30 yang bunyinya setiap orang berhak atas
rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Namun, yang marak terjadi saat ini justru
aparatur negara yang cenderung untuk mengingkari terlaksananya UU tersebut.
Kasus kekerasan yang melibatkan oknum kepolisian yang
masih hangat diingatan ialah pemukulan terhadap wartawan. Kejadian ini bermula
saat aparat Polisi Sektor (Polsek) Banyumas membubarkan paksa demonstran yang
sudah melewati batas waktu berdemo. Penolakan terhadap pembangunan proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Slemet ini akhirnya berujung
baku hantam.
Kepolisian yang tergabung dalam Polsek Banyumas ini telah
melakukan penganianyaan terhadap salah satu wartawan Metro TV, Darbe Tyas.
Adapula wartawan kampus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang juga
mengalami seretan dan pukulan dalam pembubaran demonstran yang terjadi pada,
Senin (9/10).
Sebelumnya, kejadian serupa sudah pernah terjadi.
Tepatnya pada 10 Mei 2017, salah satu anggota Polisi Daerah Metro Jaya Jakarta
merampas handphone salah seorang
wartawan Palembang. Seluruh foto dan video yang berisi rekaman peliputan
penggerebekan yang diikutinya dihapus oleh oknum polisi tersebut.
Kejadian seperti ini, sebenarnya dapat dikendalikan
apabila ada peraturan yang tegas dalam institusi kepolisian. Selain itu,
penerapan kode etik yang tak maksimal juga menjadi penyebab dari adanya
penyelahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian. Apabila kode etik dijalankan
secara benar dan konsisten maka kejadian diatas tidak akan pernah terjadi.
Selain melanggar hukum dan kode etik perilaku tersebut
secara tidak langsung dapat memeberi contoh negatif kepada masyarakat. Padahal,
aparatur negara sudah selayaknya menjadi contoh yang baik bagi kehidupan
masyarakat.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta