Sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten akan menghasilkan pelayanan perpustakaan yang maksimal. Untuk itu, ketersediaan SDM berkompeten perlu ditingkatkan.
Satu persatu buku mulai
dijamah Afidatul Amanah. Bukannya membaca, Ia malah memastikan kertas identitas
katalog tertempel di buku sesuai jenisnya. Terkadang, Ia berhenti sejenak.
Beberapa terlihat pemustaka menghadap meja resepsionis, meminjam dan
memulangkan buku. Afidatul hanyalah salah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu
Perpustakaan (IP) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menjadi relawan guna membantu operasional Perpustakaan Adab dan Humaniora.
“Banyak kok relawan di sini, kami bantu-bantu perpustakaan,” ucapnya, Senin
(15/5).
Kurangnya sumber daya
manusia (SDM) perpustakaan UIN Jakarta membuat pihak perpustakaan membutuhkan
bantuan mahasiswa. Padahal, dalam Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2014 pasal 31
Standar Tenaga Perpustakaan, harus memiliki kriteria SDM minimal memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi dan sertifikasi tentang perpustakaan.
Berangkat dari perkara
ini, Institut pun menyambangi Fakultas Adab dan Humaniara (FAH) untuk menemui
Kepala Perpusatakaan FAH, Muhammad
Azwar. Ketika ditanya perihal mahasiswa relawan, Azwar mengamini jika
kebijakan itu dibuat untuk menyiasati kekurangan SDM Perpustakaan FAH. “SDM FAH
masih kurang,” ujarnya. Azwar pun menjelaskan, di Perpustakaan FAH Ia bersama
satu stafnya mengelola secara keseluruhan operasional perpustakaan. Tak jarang,
Azwar turun tangan mengelola hal teknis seperti sirkulasi dan peletakan buku di
rak. “Idealnya tambah 2 SDM lagilah,” terangnya.
Tak lama setelah
wawancara usai, tampak seorang mahasiswi tengah menunggu Azwar untuk konsultasi
skripsi. Sebagai seorang dosen, Ia pun melanjutkan untuk membimbing mahasiswa
itu. “Ini kewajiban saya juga,” tandasnya. Meski Azwar adalah Kepala
Perpustakaan FAH, Ia tetap harus menjalankan tugasnya sebagai dosen mata kuliah
Perpustakaan Digital harus tetap menjalankan tugasnya.
Dalam Peraturan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017, sebagaimana tugas dosen, Ia harus
melaksanakan pendidikan dan proses pembelajaran, termasuk membimbing mahasiswa.
“Selain di perpustakaan, saya juga harus mengatur waktu untuk mengajar,”
ujarnya. Tak jarang, Azwar pun merasa kesulitan untuk menjalani itu semua.
Azwar tak sendiri, serupa
dengannya adalah Kepala Perpustakaan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), Nuryudi. Seringkali
harus menyiasati waktu mengatur kesibukannya yang juga sebagai dosen mata
kuliah Preservasi Koleksi di FAH. “Mau bagaimana lagi, kita optimalkan yang ada
saja,” ujarnya di Perpustakaan FDI, Kamis (19/5).
Dalam menjalani
operasional perpustakaan, Nuryudi melanjutkan, tugas itu hanya dibantu oleh dua
stafnya yang sudah mendekati masa pensiun. “Staf saya yang satu, Ibu Ros mau
pensiun dua tahun lagi,” tambahnya.
Hal yang tak jauh beda
pun dirasakan Kepala Perpustakaan Fakultas Psikologi (FPsi), Andi Burhanuddin.
Ia murni mengelola perpustakaan tanpa adanya tambahan beban tugas lain. Pria
yang berpangkat Pustakawan Muda itu mengatakan, selaiknya pustakawan itu memang
fokus dalam pekerjaannya. Lagi-lagi, SDM perpustakaan harus sesuai
kompetensinya, ”SDM itu indikator dalam pelayanan, baik atau tidaknya,” kata
Andi di ruang kerjanya, lantai 3 Perpustakaan FPsi.
Menyoal SDM perpustakaan
yang tak berkompetensi, Andi tak menampik jika stafnya masih ada yang berstatus
lulusan Sekolah Menengah Atas. Hal ini membuat SDM perpustakaan FPsi jauh dari
kualifikasi sebagai pustakawan. “Bagaimana pun Pak Rahmad kan sudah lama di
sini, lagian dia juga mau pensiun” pungkasnya, Kamis (19/5).
Padahal menurut Undang-undang
(UU) No. 43 Tahun 2007 tentang Tenaga Perpustakaan. Perpustakaan harus memiliki
SDM yang terdiri dari pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Pustakawan
harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan.
Menanggapi hal tersebut,
Kepala Pusat Perpustakaan Amrullah Hasbana mengamini bahwa perpustakaan UIN
Jakarta minim SDM. Menurutnya, operasional perpustakaan tak akan berjalan
lancar bila SDM tak ideal. “Lagi-lagi kita masih kekurangan SDM,” terangnya,
Rabu (17/5).
Lebih lanjut, Amrullah
mengatakan, banyak tenaga pustaka yang bukan pustakawan. Kendati pun, pangkat
pustakawan memberikan status pengakuan. “Jadi pustakawan sebenernya enggak
mudah,” jelas Amrullah. Sebagai jalan alternatif, lanjutnya, jika ada yang
ingin jadi pustakawan harus mendapat sertifikasi.
Secara terpisah, Kepala
Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Opong Sumiati
mengatakan, dalam operasional perpustakaan, seharusnya memiliki pustakawan dan
tenaga ahli perpustakaan. “Jadi masing-masing kerjanya bisa proporsional dan
juga biar optimal,” jelas Opong, di ruang kerjanya, Gedung Perpusnas lantai 5,
Kamis (18/5).
Belum Sertifikasi
Menurut UU No. 43 Tahun
2007, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui Pendidikan atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.
Selain itu, dalam
Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2014, pasal 35 disebutkan, pustakawan harus
dinyatakan lulus dalam seritifkasi kompetensi. Sertifikat kompetensi menjadi
dasar pertimbangan kompetensi dan peningkatan karier pustakawan.
Namun, berdasarkan data Pusat
Pengembangan Perpustakaan menyebutkan, Pustakawan UIN Jakarta baru 26 orang
yang tersertifikasi. Dari total data tersebut, sebanyak 15 orang saja yang memang
memiliki latar pendidikan perpustakaan. Menanggapi hal ini, Amrullah
menyatakan, sertifikasi dinilai tak begitu penting. “Sertifikasi hanya untuk
yang mau naik pangkat saja,” tegas Amrulllah.
Hal berbeda pun
disampaikan Opong, menurutnya, sertifikasi amat penting karena mempengaruhi
penilaian terkait profesionalitas dan kompetensi seorang pustakawan.
Sertifikasi kompetensi menjadi bukti hitam di atas putih bahwa pustakawan sudah
berkompeten dalam hal pengetahuan, keahlian dan sikap kerja. Terlebih,
sertifikasi dapat melindungi pustakawan dari invasi tenaga kerja asing., “Sertifikasi
penting bagi pustakawan, sesuai ketentuan dalam UU No. 43 Tahun 2007,”
jelasnya.
Alfarisi Maulana & Dewi Solehah Maesaroh
Alfarisi Maulana & Dewi Solehah Maesaroh