Pancasila merupakan ideologi negara yang telah final. Eksistensinya tidak boleh digantikan dengan ideologi lain. Sejatinya, Pancasila sudah sejak lama dirumuskan oleh para Founding Fathers Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengemukakan pandangan tentang dasar negara Indonesia melalui sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pelbagai nilai agung yang termaktub dalam Pancasila menjadi pendorong keputusan tersebut.
Dalam buku Mengobarkan Kembali Api Pancasila karya Sayidiman
Suryohadiprodjo dijelaskan bahwa Bung
Karno selalu mengatakan dirinya bukan pengarang Pancasila. Dalam pidato ketika
Ia dianugerahi gelar Doctor HC oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950,
beliau mengatakan bahwa Pancasila telah digali dari warisan kebudayaan bangsa.
Galian itu kemudian dirumuskan pada sidang BPUPKI dengan nama Pancasila.
Pancasila adalah perumusan warisan kebudayaan bangsa Indonesia. Segala nilai
yang terkandung dalam Pancasila menggambarkan jati diri bangsa Indonesia.
Lebih lanjut Sayidiman menuturkan, bagian terpenting dalam pandangan
Pancasila adalah pendiriannya tentang manusia dalam kehidupan. Menurut
Pancasila, manusia hidup selalu dalam berhubungan dengan manusia yang lain.
Sebagaimana hukum alam, manusia selalu hidup dalam hubungan keluarga, kelompok,
bangsa, dan lingkungan umat manusia.
Direktur International Center for Islam and Pluralism, Syafiq Hasyim
menyatakan tak mudah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Pasalnya,
proses perumusan Pancasila menimbulkan
perdebatan antara kaum agamis dan kaum nasionalis. Kaum agamis berargumen bahwa
kemerdekaan Indonesia merupakan sumbangsih perjuangan orang-orang Islam. Di
sisi lain, kaum nasionalis berpendapat perjuangan kemerdekaan bukan hanya
dilakukan oleh orang Islam, tapi tokoh agama lain juga turut andil berjuang. “Argumentasi
sama kuat,” ungkapnya, Jumat (26/5).
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jendral Indonesian Conference
on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia. Menurut Musdah untuk
menjembatani perbedaan pendapat antara kaum agamis dan nasionalis lahirlah
Pancasila. Pancasila pun dianggap sebagai idelogi tengah. Dalam perkembangan
selanjutnya, Pancasila dijadikan sebagai ideologi final. ”Tidak boleh
membiarkan ideologi politik lain tumbuh dan berkembang di negeri ini,” ucapnya,
Sabtu (27/5).
Lebih lanjut, Syafiq Hasyim pun menyayangkan perilaku penguasa yang kurang
memahami Pancasila. Pada era orde baru, Pancasila dimaknai secara berlebihan
sebagai ideologi yang tertutup. Tak hanya itu Pancasila juga dijadikan alat
untuk mengekang rakyat Indonesia. Rakyat
dididik untuk mampu memosisikan Pancasila sebagai ideologi yang kokoh,
mampu berhadapan dengan ideologi lain seperti komunisme, liberalisme, dan
islamisme. “Dulu dilatih untuk mendiskusikan Pancasila selama 100 jam, hampir
seminggu lebih,” ucapnya, Jumat (26/5).
Berbeda dengan era reformasi, Pancasila bukan lagi dianggap sebagai asas
tunggal. Pelbagai lapisan masyarakat
boleh menggunakan Pancasila atau tidak dalam kehidupan bermasyarakat.
Tetapi Pancasila tetap digunakan sebagai ideologi negara. Tatkala Presiden
Soeharto turun, diambil keputusan
menghapus Tap MPR No. XVIII/MPR/1998. Tujuannya menyemarakkan demokratisasi.
Sayang, keadaan ini selanjutnya memicu terbentuk pelbagai organisasi yang
menjadikan agama sebagai dasar organisasi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Front Pembela Islam (FPI). “Arus reformasi menggerogoti bahkan
meruntuhkan ideologi Pancasila,” lanjutnya.
Menurut Hasyim faktor ini merupakan cikal bakal paham radikalisme mulai
tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Belakangan ini muncul pelbagai organisasi yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila. Kalangan ini terobsesi mengubah Indonesia yang demokratis
menjadi bentuk khilafah, sebut saja HTI. Hal itu bertentangan dengan kebijakan
di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan. Meskipun penduduknya 80
persen Islam, tapi Indonesia bukan Negara Islam. “Para pendahulu kita itu
cerdas. Bentuk negara yang dirumuskan demokratis dan tidak sekuler,” pungkas,
Jumat (26/5).
SHR