Senin, 22 Mei 2017 Hall Student Center (SC) terlihat berbeda. Berbagai macam hasil olahan bambu menghiasi setiap sudut tempat berukuran 25 meter itu. Di tengah nampak berdiri tegak boneka manusia dengan kaki kanan menekuk. Pemandangan SC tersebut lebih seperti sebuah pedesaan dengan sorot lampu kuning sebagai penerang.
Memandang ke sisi kiri dan kanan nampak berbeda,
dangau beratapkan olahan bambu menjadi pelindung bagi puluhan karya milik
seorang sastrawan sekaligus dramawan, Putu Wijaya. Mulai dari poster milik Putu
Wijaya yang terbingkai kayu berbentuk persegi, hingga novel karyanya juga ikut
dipamerkan. Mendampingi poster dan novel, topeng dan properti pementasan Putu
Wijaya tak luput ditampilkan.
Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB, memandang keatas
panggung, telah berdiri empat orang, tiga berasal dari grup Nada Renjana dan
satu bernama Arief S. Pramono. Tak berselang lama alunan suara gitar mulai
nyaring terdengar, membangunkan sorak sorai penonton. Diiringi suara gitar
tersebut, salah seseorang diatas panggung mulai bernyanyi.
Ditengah-tengah lagu, penonton dibuat takjub. Seorang
laki-laki diatas panggung membacakan puisi sang maestro Putu Wijaya yang
berjudul Cinta. Seusai pembacaan puisi, alunan musik dan lagu kembali
dimainkan, hal ini membuat penonton yang menyaksikan merasa terhibur dan pada
akhirnya memberikan tepuk tangan.
Kejutan tak berhenti
disitu. Setelah paduan musik dan pembacaan puisi selesai, penonton kembali disuguhi penampilan monolog—pertunjukkan
sandiwara yang dimainkan oleh satu orang— oleh
Jose Rizal Manua. Dengan mengenakan baju merah dengan topi putih yang
menutupi rambut panjangya, Jose mulai menampilkan bakat aktingnya.
Dalam monolognya, Jose menampilkan adegan bagaimana caranya
memikat hati seorang perempuan. Dengan berlutut dan menggenggam sekuntum mawar
merah palsu Ia mulai merayu perempuan tersebut. “Biarkan bunga mawar palsu ini
menjadi lambang cintaku,” katanya. Sesaat setelah itu, Ia memberikan pesan
bahwa laki-laki haruslah bersikap gagah saat memikat hati seorang wanita.
Dengan disisipi homor, Jose menyampaikan pesan sosial
kepada para penonton yang hadir. Seperti pesan kesetaraan gender Jose gambarkan
melalui ungkapan puan-puan dan tuan-tuan. Kata puan—perempuan—yang diucapkan
terlebih dulu ini memiliki arti bahwasanya perempuan memiliki kedudukan yang
sama seperti laki-laki.
Demikian sedikit gambaran mengenai pementasan musikalisasi
puisi dan monolog karya Jose Rizal Manua. Ini merupakan bagian dari acara
penutup Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama) yang diselenggarakan oleh Himpunan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan tema Seminggu Bersama Putu Wijaya.
Tak hanya penampilan musikalisasi puisi dan monolg,
dalam acara tersebut panitia meluncurkan buku berjudul Bertolak Dari yang Ada. Menurut
Ketua Panitia, Ramadhan mengatakan buku tersebut merupakan bentuk apresiasi UIN
Jakarta terhadap karya-karya Putu Wijaya. “Isi buku membahas kumpulan
karya-karya Putu Wijaya yang telah didiskusikan,” jelas Ramadhan, Senin (22/5).
Ramadhan menambahkan acara ini bertujuan untuk menambah
kecintaan mahasiswa terhadap kesenian dan kebudayaan. Ia berharap dengan adanya kegiatan ini agar
nantinya UIN Jakarta menjadi contoh perkembangan budaya “UIN Jakarta bisa
menjadi poros kebudayaan” tutupnya.
Salah seorang pengunjung, Ernanda Kartika Dewi
mengapresiasi acara tersebut. Ia beralasan Pestarama dapat berguna baginya, sekaligus
menjadi cara untuk mengapresiasi seni dan kebudayaan Indonesia. “Semoga acara
Pestarama bisa diadakan lagi,” tutur Ernanda sesaat setelah acara usai, Senin
(22/5).
ND
ND