Mei 1998 mahasiswa menjadi saksi hidup sejarah berakhirnya rezim orde
baru. Di tahun ini mahasiswa berhasil menjatuhkan kursi kepresidenan yang
dipimpin Soeharto. Sebab, Soeharto adalah sosok pemimpin yang otoriter. Di
bawah kepemimpinannya terjadi berbagai macam penyimpangan, diantaranya marak
terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, dwifungsi ABRI, dan krisis moneter yang
melanda Indonesia.
Permasalahan yang muncul dalam pemerintahan Soeharto ini membuat hampir
seluruh mahasiswa dari berbagai almamater melakukan demonstrasi. Sebagai salah
satu universitas yang ikut terlibat, perlu kiranya menelusuri lebih dalam peran
aktfis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—saat itu IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta—. Sebagai langkahnya, Reporter Institut Egi Arianto dan Elsa
Erika melakukan wawancara khusus dengan mantan aktivis UIN Jakarta Ray
Rangkuti yang menjadi koordinator aksi demonstrasi Mei 1998.
Apa latarbelakang mahasiswa UIN Jakarta terlibat dalam aksi Mei 1998?
Sama
dengan universitas lain, aksi mahasiswa UIN Jakarta pada Mei 1998
dilatarbelakangi keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara. Khususnya setelah
terjadi kelesuan dalam kegiatan dagang, dan industri. Kelesuan itu membuat mahasiswa cepat tertarik dengan isu politik, lalu turun aksi,
dan menumbangkan Soeharto. Tapi tentu saja
itu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada faktor internal dan faktor eksternal yang
melatarbelakanginya.
Seberapa sering mahasiswa UIN Jakarta terlibat dalam aksi demo?
Kalau
itu tidak terhitung, saking banyaknya hingga membuat mahasiswa memberontak
untuk melakukan aksi keluar. Sebab
melakukan aksi di dalam kampus tidak ada respon dari pemerintah. Akhirnya kami melakukan aksi di luar kampus.
Meskipun melakukan aksi di luar kampus merupakan hal yang sulit. Jangankan aksi di luar, aksi di dalam kampus saja mendapat
perhatian ketat pihak kepolisian. Bahkan saat terjadi bentrok di UIN Jakarta sebelum
terjadinya pendudukan gedung DPR, pihak kepolisian mengerahkan helikopter untuk
melerai bentrokan.
Apakah ada korban dari UIN sendiri?
Waktu
aksi besar-besaran dan pendudukan gedung DPR itu tidak ada korban dari UIN Jakarta. Tapi sewaktu terjadi bentrok besar yang terjadi di kampus UIN Jakarta, delapan orang luka-luka, diantaranya tiga dari polisi, dan lima
dari mahasiswa.
Apa kendala yang dihadapi dalam aksi 1998?
Kendala
yang dihadapi tentu banyak, tidak seperti sekarang. Kendala pertama yaitu
berhadapan dengan aparat penegak hukum. Kendala kedua adalah perlu adanya usaha
meyakinkan massa untuk bergabung dalam aksi. Jadi massa perlu diyakinkan dahulu
baru mereka mau bergabung.
Apakah ada halangan dari pihak rektorat saat melakukan aksi?
Justru
saat terakhir waktu mau ke DPR pihak rektorat terlibat. Sampai-sampai
rektorat membuat perintah semua mahasiswa wajib ikut dalam aksi ini. Bahkan,
pihak rektorat juga membuat surat tuntutan pengunduran Soeharto yang kemudian
surat itu ditandatangani rektor di seluruh Indonesia. Dana
aksi juga merupakan hasil sumbangan dari civitas akademika UIN Jakarta.
Jadi
UIN Jakarta itu serba mendahului saat itu. Pertama, UIN Jakarta adalah pembawa massa besar dengan jumlah hampir lebih dari tiga
ribu orang untuk menduduki DPR. Kedua, Rektor
UIN Jakarta adalah rektor pertama yang meminta Soeharto turun secara resmi
dengan surat yang disertai kop surat rektorat.
Kenapa UIN Jakarta dikenal sebagai sentral aksi tapi yang diingat
itu peristiwa trisakti?
Mungkin
orang-orang UIN Jakarta bersikap tawadhu. Kerja karena lillahitaala,
tidak merasa perlu dikenal, dan tidak perlu dianggap berjasa. Meskipun sekarang
rugi juga ya.
Bagaimana tanggapan Bapak mengenai pergerakan mahasiswa saat ini
pasca Mei 1998?
Menurut
saya mahasiswa sekarang ini tanpa konsep dan tanpa bacaan utuh. Selalu berpegang
pada romantisisme terhadap gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Mereka
beranggapan bahwa gerakan mahasiswa itu harus selalu menjatuhkan rezim. Padahal
tidak mesti itu. Jadi, gerakan mahasiswa saat ini tidak ada, mereka tidak
bergerak.
Apa harapan Bapak mengenai mahasiswa saat ini?
Berpikir
kritis, karena menurut subyektif saya itu yang
sekarang sudah hilang pada mahasiswa. Sekarang antara mahasiswa dan siswa itu
sudah tidak berbeda. Cara dia berbicara,
cara dia bertindak, cara mengambil kesimpulan, menangkap dan membaca berita
kadang-kadang tidak jelas. Tidak ada verifikasi, objektifikasi, continuitas,
kritisisme, pokoknya berita yang dianggap benar oleh hati adalah benar.
Saya berharap mahasiswa perlu membiasakan
diri untuk membaca buku, supaya cara berbicaranya sistematik, ada
kesinambungan, tidak terlalu percaya pada media sosial, terbiasa bermain
logika, dan mengetahui cara kerja pengetahuan. Lalu bersikap objektif dan
rasional.